Minggu, 22 Februari 2015

Tidak Ada 50 % Anggota Dewan yang Paham Anggaran

Serengan. Hal ini diungkapkan, Ayu Prawitasari, wartawan Harian Solopos Solo salah satu peserta dalam Focus Grup Diskusi (FGD) Koalisi “Sharing regulasi proses perencanaan, penganggaran untuk penilaian kinerja aparatur birokasi di Kota Surakarta”, yang di selenggarakan Pattiro Surakarta di Hotel Sarila, Serengan Solo, Sabtu, 31 Mei 2014.
            Parahnya dokumen itu hanya dipegang Ketua Komisi dan Sekretaris Komisi dan banyak dewan yang tidak tahu. Jika permasalahan anggaran yang menjadi kewajibannya saja Dewan minim yang tahu bagaimana mereka akan melakukan fungsi kontroling anggaran, baik dalam proses perncanaan, pelaksanaan maupun monitoring evaluasi anggaran.
            Banyak persoalan anggaran yang saat ini bisa dilihat. Misalnya saja fokus pembelian tanah di Mojosongo yang masih dibahas di Dewan tetapi tetap dibeli padahal masih dibahas. Ini  berarti tidak konsekuen. Lalu pengawasan seperti apa? Tahun ini belum sampai anggaran perubahan Walikota sudah merencanakan membeli gamelan untuk semua kelurahan itu sesuai tidak dengan perencanaan anggarannya. Kemudian Pemasangan Pagar Mini Stadion Manahan, kemanfaatannya seperti apa? Ada lagi pembelian Kereta Kencana seharga 500juta hanya mangkrak, wisatawan tidak begitu berminat. Hanya untuk foto pre wedding itupun baru ada 2 penyewa.  “Apakah  permasalahan itu hanya akan didiamkan saja, tanya Ayu.
            “Dalam pelibatan masyarakat dalam perencanaan anggaran faktanya seringkali sebenarnya justru usulan yang jelas ditampung itu usulan dari SKPD.  Sementara masyarakat hanya diminta mengusulan itupun belum tentu disetujui dan anggarannya juga terbatas. Jadi masyarakat belum terlibat dalam arti sesungguhnya” ungkap Zakaria, Tim TKPKD Surakarta.
            Pemerintah mencoba melakukan beberapa hal upaya-upaya penganggulangan kemiskinan publik seperti Program PKMS dan BPMKS. Beberapa program yang agak masif regulasi impact assesment ini spot-spot jaminan sosial yang mungkin bisa kita ubah secara regulasi sudah bagus tapi kerangka implementasinya. Berita terkait RTLH tidak ada, dari data. Dan ternyata sudah masuk tahun berapa? Sebenarnya kekuatan atau kelemahan ketika sekolah bisa mengelola dana pembangunan itu seperti apa? Dalam proses transparansi akan terbangun tapi dari kualitas belum bisa diandalkan.          Dari assesment mereka akan bisa digunakan apakah tepat sesuai sasaran.             Kedua ternyata Bapeda tidak punya kekuatan apapun atas SKPD.
            Selanjutnya adalah minimnya data, data yang ada misalnya tidak terdistribusikan dengan baik ke SKPD. Pertanyaannya adalah kalau SKPD tidak punya data bagaimana mereka menyusun program. Yang kita upayakan sebenarnya bagaimana kerangka konsepnya? Management control bagaimana efektifnya? Ketika sudah terpeta-kan anggaran tidak ada. Selama ini positioning kita selalu monitoring pascanya mau seperti apa?  Tidak ada kekuatannya.
            Misanyal TKPKD cukup efektif masuk dalam celah ini, dalam TKPKD khususnya CSO dan SKPD sudah berimbang, yang menjadi catatan akhir, kawan-kawan CSO datang membangun atas dasar pikiran dia bukan masyarakat, misal dari kecamatan kita ambil satu-satu argumentasinya apa yang ada dalam pikiran mereka bukan pertarungan kebutuhan, celakanya pelaku kota tidak berjalan atas mandat. Kadang menjadi bumerang dengan masyarakat yang diwakilinya. Dari sisi kelembagaan dan kelemahan kita bisa masuki semua, Ketika renja turun 5 lokasi kelurahan ini dananya sangat minim.
            “Saya usul untuk monitoring sepakat monitoring atas program tapi dalam penyusunan tatalaksana program, bagaimana masuknya? Kita masuk dalam spot-spot program melakukan penilaian atas program pemanfaatannya? Dimana kelemahannya? Apakah programnya atau implementasinya?” Tambah Zakaria.  
            Ada beberapa hal dari sisi individu sebagai PNS dia galau dalam situasi kebingungan mereka hanya punya pegangan tupoksinya jelas. Tapi mereka kebingungan ketika target jabatan ke depan tidak tahu. “Misal dia sebagai Kasi kecamatan untuk menempuh ke atas harus menjalani apa? Kalau menjadi pegawai tehnik harus bagaimana kalau jabatan perencanaan harus dapat apa mereka belum clear dan tidak jelas. Sampai sekarang birokrasi ya seperti itu. hanya ikut atasan.”, Tambah Muhammad Histiraluddin, Aktifis LSM Jerami.
             “Sebenarnya sangat banyak untuk mengontrol kinerja birokrasi, rekan-rekan pers, inspektorat dll. Saya heran pengawasan internal sangat lemah, Tambah Pardoyo, pegiat MPPS. Biasanya kalau kita bekerja bisa dilihat dari hasil kerjanya kemandiriannya sangat rendah. Selama ini wartawan hanya fokus di tingkat kebocoran belanja. Bocornya pemasukan terlewat. Ini banyak sekali. Siapa pengelolanya? dsb. Dishub, terminal dsb ini bagaimana? Pendapatannya larinya kemana? Ini dilihat dari kebocoran dilihat dari kemandirian kota. Rasio kecenderungannya naik. Kenapa per kapita naik terus tapi generasionya kemiskinan juga naik terus. Kemiskinan naik tapi hotel dibangun terus, restoran juga bermunculan dsb.
             “Harpannya bahwa dengan agenda reformasi birokrasi, komponen APBD terhadap meningkatnya kesejahteraan masyarakat juga menjadi outcome program. Saat ini komposisi belanja aparatur lebih banyak, dirasio semakin meningkat dibanding untuk masyarakat. Padahal masyarakat masih banyak menghadapi permasalahan. Maka kita harus  melibatkan kelompok marginal untuk didorong untuk melakukan kontrol s”osial dan kontrol publik atas kebijakan yang ada di Solo”, tambah Eko Setiawan, LSM Kompip .
            Maka hasil sharing peserta di FGD ini akan dibawa dan dirumuskan oleh Pattiro Surakarta untuk melakukan audit social dalam rangka mendorong reformasi birokrasi di Kota Solo ungkap Rohmad Munawir, Fasilitator dari Pattiro Surakarta sekaligus menutup acara.

            Oleh: Sulatri

            Pegiat Pattiro Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar