Serengan. Hal ini diungkapkan, Ayu
Prawitasari, wartawan Harian Solopos Solo salah satu peserta dalam Focus Grup
Diskusi (FGD) Koalisi “Sharing regulasi
proses perencanaan, penganggaran untuk penilaian kinerja aparatur birokasi di
Kota Surakarta”, yang di selenggarakan Pattiro Surakarta di Hotel
Sarila, Serengan Solo, Sabtu, 31 Mei 2014.
Parahnya
dokumen itu hanya dipegang Ketua Komisi dan Sekretaris Komisi dan banyak dewan
yang tidak tahu. Jika permasalahan anggaran yang menjadi kewajibannya saja
Dewan minim yang tahu bagaimana mereka akan melakukan fungsi kontroling
anggaran, baik dalam proses perncanaan, pelaksanaan maupun monitoring evaluasi
anggaran.
Banyak
persoalan anggaran yang saat ini bisa dilihat. Misalnya saja fokus pembelian
tanah di Mojosongo yang masih dibahas di Dewan tetapi tetap dibeli padahal
masih dibahas. Ini berarti tidak
konsekuen. Lalu pengawasan seperti apa? Tahun ini belum sampai anggaran
perubahan Walikota sudah merencanakan membeli gamelan untuk semua kelurahan itu
sesuai tidak dengan perencanaan anggarannya. Kemudian Pemasangan Pagar Mini
Stadion Manahan, kemanfaatannya seperti apa? Ada lagi pembelian Kereta Kencana
seharga 500juta hanya mangkrak, wisatawan tidak begitu berminat. Hanya untuk
foto pre wedding itupun baru ada 2 penyewa.
“Apakah permasalahan itu hanya
akan didiamkan saja, tanya Ayu.
“Dalam
pelibatan masyarakat dalam perencanaan anggaran faktanya seringkali sebenarnya
justru usulan yang jelas ditampung itu usulan dari SKPD. Sementara masyarakat hanya diminta mengusulan
itupun belum tentu disetujui dan anggarannya juga terbatas. Jadi masyarakat
belum terlibat dalam arti sesungguhnya” ungkap Zakaria, Tim TKPKD Surakarta.
Pemerintah
mencoba melakukan beberapa hal upaya-upaya penganggulangan kemiskinan publik
seperti Program PKMS dan BPMKS. Beberapa program yang agak masif regulasi impact assesment ini spot-spot jaminan
sosial yang mungkin bisa kita ubah secara regulasi sudah bagus tapi kerangka
implementasinya. Berita terkait RTLH tidak ada, dari data. Dan ternyata sudah
masuk tahun berapa? Sebenarnya kekuatan atau kelemahan ketika sekolah bisa
mengelola dana pembangunan itu seperti apa? Dalam proses transparansi akan
terbangun tapi dari kualitas belum bisa diandalkan. Dari assesment
mereka akan bisa digunakan apakah tepat sesuai sasaran. Kedua ternyata Bapeda tidak punya kekuatan apapun atas
SKPD.
Selanjutnya
adalah minimnya data, data yang ada misalnya tidak terdistribusikan dengan baik
ke SKPD. Pertanyaannya adalah kalau SKPD tidak punya data bagaimana mereka
menyusun program. Yang kita upayakan sebenarnya bagaimana kerangka konsepnya?
Management control bagaimana
efektifnya? Ketika sudah terpeta-kan anggaran tidak ada. Selama ini positioning kita selalu monitoring pascanya mau seperti apa? Tidak ada kekuatannya.
Misanyal
TKPKD cukup efektif masuk dalam celah ini, dalam TKPKD khususnya CSO dan SKPD
sudah berimbang, yang menjadi catatan akhir, kawan-kawan CSO datang membangun
atas dasar pikiran dia bukan masyarakat, misal dari kecamatan kita ambil
satu-satu argumentasinya apa yang ada dalam pikiran mereka bukan pertarungan
kebutuhan, celakanya pelaku kota tidak berjalan atas mandat. Kadang menjadi
bumerang dengan masyarakat yang diwakilinya. Dari sisi kelembagaan dan
kelemahan kita bisa masuki semua, Ketika renja turun 5 lokasi kelurahan ini
dananya sangat minim.
“Saya
usul untuk monitoring sepakat monitoring atas program tapi dalam penyusunan
tatalaksana program, bagaimana masuknya? Kita masuk dalam spot-spot program
melakukan penilaian atas program pemanfaatannya? Dimana kelemahannya? Apakah
programnya atau implementasinya?” Tambah Zakaria.
Ada
beberapa hal dari sisi individu sebagai PNS dia galau dalam situasi kebingungan
mereka hanya punya pegangan tupoksinya jelas. Tapi mereka kebingungan ketika
target jabatan ke depan tidak tahu. “Misal dia sebagai Kasi kecamatan untuk
menempuh ke atas harus menjalani apa? Kalau menjadi pegawai tehnik harus
bagaimana kalau jabatan perencanaan harus dapat apa mereka belum clear dan
tidak jelas. Sampai sekarang birokrasi ya seperti itu. hanya ikut atasan.”,
Tambah Muhammad Histiraluddin, Aktifis LSM Jerami.
“Sebenarnya sangat banyak untuk mengontrol
kinerja birokrasi, rekan-rekan pers, inspektorat dll. Saya heran pengawasan
internal sangat lemah, Tambah Pardoyo, pegiat MPPS. Biasanya kalau kita bekerja
bisa dilihat dari hasil kerjanya kemandiriannya sangat rendah. Selama ini
wartawan hanya fokus di tingkat kebocoran belanja. Bocornya pemasukan terlewat.
Ini banyak sekali. Siapa pengelolanya? dsb. Dishub, terminal dsb ini bagaimana?
Pendapatannya larinya kemana? Ini dilihat dari kebocoran dilihat dari
kemandirian kota. Rasio kecenderungannya naik. Kenapa per kapita naik terus
tapi generasionya kemiskinan juga naik terus. Kemiskinan naik tapi hotel
dibangun terus, restoran juga bermunculan dsb.
“Harpannya bahwa dengan agenda reformasi
birokrasi, komponen APBD terhadap meningkatnya kesejahteraan masyarakat juga menjadi
outcome program. Saat ini komposisi belanja aparatur lebih banyak, dirasio
semakin meningkat dibanding untuk masyarakat. Padahal masyarakat masih banyak menghadapi
permasalahan. Maka kita harus melibatkan
kelompok marginal untuk didorong untuk melakukan kontrol s”osial dan kontrol
publik atas kebijakan yang ada di Solo”, tambah Eko Setiawan, LSM Kompip .
Maka
hasil sharing peserta di FGD ini akan
dibawa dan dirumuskan oleh Pattiro Surakarta untuk melakukan audit social dalam
rangka mendorong reformasi birokrasi di Kota Solo ungkap Rohmad Munawir, Fasilitator
dari Pattiro Surakarta sekaligus menutup acara.
Oleh:
Sulatri
Pegiat
Pattiro Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar