Sejarah berdirinya bangunan Petilasan atau
bisa diartikan sebagai Pesantren (Perguruan) di Dusun Landoh, Jatimulyo berangkat dari sejarah
kerajaan mataram kurang lebih pada tahun 670 M. Pada saat itu, Saridin
mengawali babat alas dengan sendirinya. Asal usul Saridin berasal dari Dusun Ngetuk, Tayu. Dari Mataram ke Ngetuk,
Saridin jalan kaki menuju wilayah Pati bagian utara tepatnya di Dusun Pesanggrahan, Tayu. Di Dusun Pesanggrahan Saridin mendapatkan kerbau dari Ki Ageng Kiringan dan
menuntunnya sampai ke Dusun Jepat, Margotuwu dan Guyangan, hingga
akhirnya menetap di Dusun landoh. Di Dusun Landoh, Saridin mendirikan sebuah tempat
Perguruan dan mendidik beberapa santri. Para santri datang dari daerah sekitar,
seperti Trangkil, Kepoh, Karang Legi dan lain sebagainya. Petilasan itu sampai
saat ini masih bisa dijumpai di desa Jatimulyo, Wedarijaksa, Pati. Bangunan itu
memiliki luas 7x9 m dan mulai dibangun kurungan tembok pada tahun 1983 M.
Selain mempunyai kesibukan mengajar
beberapa santri, Saridin mempunyai kesibukan lain, yakni bertani. Pada saat
bertani, Saridin sedang dicari istrinya yang berasal dari dusun Miyono. Setelah
keduanya bertemu, istrinya ikut menetap di dusun landoh. Naliko
gegeblek dari mataram, sultan mataram silaturahmi ke dusun landoh
bersama Retno Jinoli. Namun, pada saat itu Saridin memiliki tugas untuk
menentramkan mataram. Dan, sultan mataram menunggu Saridin sambil bertani
menggantikan tugas Saridin sebagai petani di dusun landoh. Setelah Saridin
kembali dari mataram dan sultan mataram pulang, Retno Jinoli duduk manis (ikut
menetap dan kemudian menjadi istri Saridin) di dusun landoh. Setelah duduk
manis di dusun ini, Retno Jinoli mempunyai murid-murid (para santri), dan
membuat petanen-petanen(pertanian) sampai seterusnya..
Cerita rakyat yang berkembang saat ini masih simpang siur mengenai jumlah istri
Saridin. Ada yang mengatakan dua, tiga, empat dan sebagainya.
Saridin merupakan anak laki-laki dari
Sujinah (adik dari sunan kudus). Sujinah berasal dari daerah seberang, datang
ke Jawa untuk mencari kakaknya, Ja`far Shodiq. Sudah sekian lamanya Ja`far
Shodiq menjajah pulau Jawa dengan cara berdagang dan lama tak kunjung pulang.
Dalam pencariannya, Sujinah tidak menemukan kakaknya, malah bertemu dengan
Sunan Muria. Sujinah merupakan wanita yang memiliki paras wajah yang cantik.
Dengan kecantikannya itu, dalam lubuk hati sunan muria merasa jatuh hati
terhadapnya. Kemudian, diperistrilah Sujinah oleh sunan muria dan keduanya
tinggal dalam satu atap. Suatu hari, Sunan Muria kedatangan tamu yang bernama
Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim). Kala itu, Sunan Muria
mempunyai udzur untuk menghadiri acara sarasehan di Kudus.
Sunan Bonang hanya bertemu dengan istrinya Sunan Kudus. Begitu takjubnya Sunan
Bonang kala itu melihat cantiknya istri Sunan Muria. Keduanya lalu berpandangan
dan Sunan Bonang merasa jatuh hati terhadap Sujinah, istri sunan muria. Pada
saat itu, batin seorang wali sangat kuat. Maka tidak salah kala itu istri Sunan
Muria hamil. Setelah pulang dari Kudus, Sunan Muria merasa geram dan marah.
Sunan Muria merasa tercengang melihat perut Sujinah yang terlihat beda dengan
sebelumnya. Akhirnya, terjadilah sebuah peristiwa yang mengakibatkan di usirnya
Sujinah dari ndalem Sunan Muria.
Sujinah merasa bingung dan merana, tidak
tahu harus ke tempat mana lagi. Di tengah jalan, perut Sujinah terasa sakit dan
tidak ada seorangpun yang menolongnya. Rupanya, Sujinah akan melahirkan seorang
bayi. Akhirnya, dari perut itu lahirlah seorang bayi laki-laki kecil. Pada saat
yang bersamaan Sujinah terjatuh ke dalam Sendang Kiringan dan meninggal, hanyut
didalamnya. Sedangkan bayi itu dalam kondisi selamat karena pada saat Sujinah
melahirkan, bayi itu berada dibawah pohon. Dari situlah nama Dewi Samaran
muncul ke permukaan. Dewi Samaran merupakan nama tambahan dari seseorang yang
bernama Sujinah. Pada saat itu, Sunan Kalijogo yang sedang keliling jagat
dengan kebetulan menemukan seorang bayi laki-laki dengan tanpa sehelai benang
pun yang melekat di tubuhnya. Sunan Kalijogo merasa iba dan memberinya
pakaian gondel kotang onto kesumo (Iket). Konon, bayi ini
tidak merasa menangis ketika di kasih pakaian gondel kotang onto kesumo.
Hanya orang yang kuat saja yang bisa memakai pakaian gondel kotang onto
kesumo, seperti itulah ucapan Sunan Kalijogo kala itu. Di bawalah bayi itu
oleh Sunan Kalijogo dan diserahkannya kepada Ki Ageng Kiringan, Tayu. Pada saat
itu, Ki Ageng Kiringan sedang asyik memancing di sekitar sendang. Kemudian
datanglah Sunan Kalijogo dengan membawa seorang bayi laki-laki kecil. Dalam
perbincangan itu, Ki Ageng Kiringan menanyakan tentang nama apa yang sekiranya
baik untuk bayi ini. Dijawablah pertanyaan itu oleh Sunan Kalijogo, nanti kalau
bayi ini sudah besar saya kasih nama Sarindo (Saridin). Dengan demikian, Sunan
Kalijogo bisa melanjutkan perjalanannya kembali keliling jagat.
Saridin tumbuh besar menjadi seorang
laki-laki yang dewasa. Dirinya memiliki saudara temon yang
bernama Branjung. Branjung merupakan suami dari mbaknya Saridin. Ceritanya,
Branjung ngerusuhianaknya Ki Ageng Truno, Kayen. Tegese,
anaknya Ki Ageng Truno hamil dirusuhi oleh Branjung. Saridin
kemudian ditanya oleh Branjung, Din, kamu ini sudah dewasa, apa kamu
gak mikir nikah?,. Akhirnya Saridin dicarikan calon istri yang bernama
Sarini dan kemudian menjadi istri Saridin.
Singkat cerita, pada masalah pembagian
warisan berupa buah durian telah ada kesepakatan bersama antara Branjung dengan
Saridin. Branjung akan mengambil buah durian yang jatuh pada siang hari dan
Saridin akan mengambil buah durian yang jatuh pada malam hari. Seperti pada
umumnya, buah durian jatuh pada malam hari. Malam ke-1,2,3, dan seterusnya
merupakan malam keberuntungan bagi Saridin. Hampir setiap malam Saridin selalu
mendapatkan buah durian yang sangat banyak dibandingkan kakak iparnya,
Branjung. Branjung yang memiliki jatah pada siang hari merasa iri dengan hasil
yang diperoleh Saridin. Akhirnya, Branjung mempunyai inisiatif untuk bagaimana
caranya mendapatkan buah durian pada malam hari. Suatu malam, Branjung
berpura-pura menjadi seekor macan dengan cara memakai pakaian dari kulit macan.
Branjung menakut-nakuti Saridin supaya pergi meninggalkan pohon durian yang
dijaganya. Namun, hal yang diprediksikan oleh Branjung keliru. Saridin justru
meruncingkan bambu untuk menikam macan tersebut. Macan ini kalau tidak
dibunuh bisa menghabiskan buah durian, tutur Saridin. Al hasil, macan
itupun ditikam oleh Saridin dan mati. Setelah macan itu dilihat, rupanya bukan
macan sungguhan yang dibunuhnya melainkan Branjung (kakak iparnya). Secara
hukum, Saridin benar dalam menjaga hak nya agar buah durian tidak dicuri.
Berita ini geger (riuh) dan
menimbulkan rasa geram dari kalangan masyarakat. Branjung rupanya telah dibunuh
oleh Saridin, saudaranya sendiri. Dan ketika dikonfirmasi Saridin menolak semua
tuduhan itu. Akhirnya kasus ini dibawa ke Adipati Pati, Wasis Joyo Kusumo.
Ketika ditanya oleh Adipati Pati, Saridin mengelak semua hal yang dituduhkan
kepadanya. Al hasil, Saridin menambah geger masyarakat
setempat. Kala itu, Adipati Pati mempunyai inisiatif bagaimana caranya Saridin
mau masuk penjara atas kesalahan yang diperbuatnya. Karena pada saat itu
Saridin benar-benar tidak mau dipenjara, sebab yang dibunuhnya pada malam itu
adalah seekor macan, bukan Branjung. Akhirnya, Adipati Pati menggunakan bahasa
yang lebih halus untuk membujuk Saridin supaya mau masuk penjara. Din,
kamu saya kasih gudang besar, ada penjaganya, makan di kasih dan bila ingin
mandi akan diantarkan, tutur Adipati Pati kala itu. Berkat kata-kata itu,
akhirnya Saridin mau untuk masuk penjara. Di penjara, lagi-lagi Saridin membuat
hebot para penjaga penjara (sipir). Setelah ditelusuri, ternyata Saridin rindu
dengan anak dan istrinya di rumah. Kala itu, Saridin ingat dengan ucapannya
Adipati Pati, Din, kamu boleh menengok anak dan istrimu di rumah kalau
kamu bisa keluar dari sini. Sebelumnya, Saridin bisa keluar dari penjara
dengan cara menyatukan rasa sama sang maha kuasa. Ketika rasa ini bersatu, maka
apa yang dirasa tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Dasar yang namanya Saridin,
sudah bisa keluar penjara malah masuk kembali.
Kisruh Dengan Ketib Trangkil
Pada saat itu, ketib trangkil jengkel
dengan Saridin karena sering madani Sunan Kudus. Kemudian,
Saridin dilaporkan oleh ketib trangkil pada Sunan Kudus. Dari situ, timbulah
rasa yang tidak mengenakan antara keduanya. Di lain itu, ketib trangkil jengkel
dengan Saridin gara-gara rebutan murid. Santri-santri yang dulu belajar pada
ketib trangkil silih pergi dan pindah ke dusun landoh. Akhirnya ribut (geger)
perang tanding antara ketib trangkil dengan Saridin. Ketib trangkil
mengungkapkan, Din aku kalah sama kamu kalau kamu bisa membuat sumur
yang dalamnya mencapai 7 sumur. Kemudian Saridin membuat sumur itu yang
dalamnya sesuai dengan apa yang sudah dipesankan. Setelah selesai, Saridin
disuruh melihat-lihat di dalamnya. Dari atas sumur, Saridin dihujani tanah
supaya tertimbun tanah dan mati. Namun, hal yang menakjubkan itu datang,
tanahnya jebol menjadi 2 sumur dan Saridin malah ikut membantu menimbun sumur
itu dengan tanah. Lalu dilaporkanlah Saridin pada Sunan Kudus.
Setelah perang tanding dengan ketib
trangkil, Saridin menyabetkan gondel kotang onto kesumotinggalannya
Syech Malaya (Sunan Kalijogo) pada ketib trangkil. Siapa kuat menggunakan gondel
kotang onto kesumo kecuali hanya si Saridin. Bahkan dirinya sampai
nyebrang laut tidak tenggelam, hanya dengan naik daun jati. Saridin terbantu
dengan gondel kotang onto kesumo. Disebut dengan gondel
kotang onto kesumo karena bacanya Ashadu`alla ilaha illa allah (syahadat
tauhid) wa Ashadu`anna muhammadar rosululloh (syahadat rosul).
Asal-Usul Dusun Landoh dan Desa Jatimulyo
Sebelumnya, dusun landoh itu belum ada
sebelum Saridin datang ke wilayah ini. Dusun landoh dulunya merupakan alas
belantara yang pekat. Setelah datangnya Saridin, barulah dusun ini mulai
tertata. Kata landoh berasal dari cuplikan kisah Saridin yang suka pada buah
kelapa. Asalnya legen itukan semisal pondohe kelopo, berawal
dari situlah dusun ini dinamakan dusun landoh.
Nama desa Jatimulyo muncul setelah
meninggalnya Syech Jangkung (Saridin). Setelah meninggalnya Syech Jangkung
aktivitas belajar mengajar di Perguruan diteruskan oleh para santri (murid).
Pada saat itu, para santri sedang berembuk untuk memilih nama apa yang
baik untuk desa ini. Dilihat-lihat tiang (soko) di Perguruan tersebut terbuat
dari kayu jati murni. Maka, suatu saat nanti kalau ada rejone (ramainya)
zaman di kasih nama Jatimulyo.
Gelar Syech Jangkung dan Kisah Kebo
Dungkul
Asal usul kebo dungkul berawal dari dusun
Pesanggrahan, Tayu. Ketika Saridin ledang-ledang (jalan-jalan)
dan melihat orang memelihara kerbau. Lho, orang itu memelihara kerbau
dan kerbaunya mati itu karena mendem atau karena apa?, begitulah
kira-kira ucapan Saridin. Lalu, didekatilah Ki Ageng Kiringan,
rupanya Ki Ageng Kiringan tidak terima dengan buruhnya yang telah menyebabkan
kerbaunya mati. Saridin mencoba untuk menolong kerbau itu dan berkata, ini
baiknya gimana?, kalau kerbau ini saya ambil, boleh?, Ki Ageng
Kiringan bertanya dengan perasaan sedikit aneh, lha kerbau mati mau
kamu minta untuk apa?,konon, Saridin memberikan sebagian sukmanya kepada si
kerbau untuk hidup kembali. Ketika Saridin meninggal, kerbaunya juga turut
mati. Tapi, matinya kerbau itu karena disembelih. Anehnya, ketika kerbau itu
disembelih lehernya tidak putus.
Untuk saat ini masih ada simpang siur
mengenai makam Saridin (Syech Jangkung). Jogo (61), juru kunci petilasan Syech
Jangkung yang berada di desa Jatimulyo mengatakan pada beberapa bulan lalu (08/08), ketika
di Kayen ada makam Retno Jinoli itu sejarahnya apa, belum ditemukan sejarah
yang mengatakan seperti itu. Jogo menambahkan, sebetulnya yang benar
mengenai meninggalnya Syech Jangkung itu mingkrat (pindah-pindah)
ketika dikubur di Miyono dan di Kayen. Menurutnya, saat ini yang ada di Kayen
itu hanyalah kurung batang (peti) atau boleh disebut bendoso
(keranda mayat). Lanjut, dirinya menyayangkan mengenai sejarah yang
ditambah-tambahi saat ini. Pria yang sudah 25 th menjadi juru kunci itu
menyatakan bahwa dirinya pernah bermimpi bertemu Syech Jangkung dan Retno
Jinoli ketika sedang mengucapkan salam.
Di kesempatan lain, pada beberapa bulan
lalu (09/08) salah satu perwakilan dari juru kunci Pak Damhari (Kayen) mengatakan,
disini itu makamnya Syech Jangkung beserta garwone (istrinya)
dan dua orang penjual legen,Prayoguna dan Bakirah. Untuk makam
kedua penjual legen itu tidak berada satu tempat dengan Syech
Jangkung dan istrinya. Melainkan berada di bagian depan pintu makam Syech Jangkung.
Sampai
saat ini, perdebatan mengenai makam Syech Jangkung dan Retno Jinoli belum bisa
dinilai keabsahannya. Baik dari pihak Kayen dan pihak Landoh, Jatimulyo
keduanya menilai berada di pihak yang benar mengenai sejarah itu.
Mustaq
Zabidi
*Penulis
adalah Ketua PMII Komisariat Pabelan UMS
Maaf ibu, kerajaan mataram kurang lebih pada tahun 670 M. ini benar?
BalasHapusBingung aq! Mungkin salah ketik. ± th segitu mataram hindu kan, jauh sblum Islam masuk.
Hapussayangnya ada versi ketoprak yg diikutkan jd agak nyeleweng.
BalasHapusKalau kepingin ngikutin sejarah Syekh Jangkung bisa nanyak sama Pak Wagimin alamat: Belakang Makam Saliyan Jl P. Diponegoro/belio keturunan yg ke 5 dari Syekh Jangkung.sekarang Pak Wagimin kondisinya masih sehat dan belum pikon biarpon sudah berumur 92 th,alhamdulillah Gusti Allah masih maringi kesehatan amiin. Silsilahnya: Syekh Jangkung, Momok Hasan Aji, Lurah Sunde/mBah Gremeng, Ibu Suminah, Pak Wagimin, Setyo Budi.
BalasHapusAda No Hp keluarga Pak Wagimin? Saya sedang menelusuri silsilah keluarga di Kayen
Hapus