Oleh : Sulatri
Tim Penyelidik Fakta (TPF) yang dibentuk Presiden atas berbagai masukan dari berbagai kalangan dalam kasus penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah diharapkan jangan hanya menjadi komuflase (kesemuan) belaka. Untuk meredam berbagai gejolak yang terjadi ditengah masyarakat yang menentang penahanan pimpinan non aktif KPK tersebut.
Kasus penahanan kedua orang tersebut banyak dinilai merupakan salah satu upaya pelemahan istitusi KPK yang selama ini kinerjanya sudah mendapat acungan jempol dari masyarakat dalam rangka pemberantasan korupsi di negeri ini. Sedang disisi lain Kepolisian dianggap menjadi salah satu institusi yang justru menghalangi upaya gerak KPK dalam pemberantasan korupsi dengan penahanan anggota KPK yang dakwaannya berubah-rubah. Tak heran jika reaksi pelemahan KPK banyak ditentang masyarakat, bahkan sampai akan di bawa kedalam forum PBB.
TPF sebagai Tim Independen Pencari Fakta yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution diharapkan benar-benar bisa bersifat netral dan transparan dalam mengungkapkan kasus yang melibatkan dua institusi KPK dan Kepolisian. Dengan demikian nantinya diharapkan berbagai fakta yang ada bisa terungkap sampai tuntas hingga akhir.
Tentunya kita tidak mau pembentukan TPF pada akhirnya hasilnya akan kabur bahkan menghilang seiring dengan berkurangnya reaksi dan publikasi dari masyarakat untuk membela KPK. Hal ini bukan ketidakpercayaan terhadap TPF yang dibentuk, tapi tentu kita tidak lupa akan sejarah pencari fakta di Indonesia.
Ketika pada masa runtuhnya Orde Baru, sekitar tahun 1998 banyak sekali mahasiswa, para aktifis yang dinyatakan hilang saat mereka berdemontrasi menentang pemerintah. Setelah masa reformasi juga dibentuk tim penelusuran terhadap para demonstran yang hilang hingga sekarang juga belum ada kejelasan laporannya.
Kemudian kasus pembunuhan aktifis HAM Munir juga dibentuk penyelidik yang menyebabkan tewasnya aktifis tersebut sampai sekarang juga kabarnya masih simpang siur. Siapa sebenarnya mereka yang terlibat dalam penculikan para demonstran tersebut? Siapa yang terlibat dalam penewasan aktifis HAM Munir? Sanksi apa yang diberikan kepada mereka yang mengakibatkan nyawa-nyawa pembela demokrasi melayang, hingga kini belum ada kejelasan!
Permintaan maaf KAPOLRI atas keluarnya istilah cicak dan buaya dimana cicak diibaratkan KPK dan buaya diibaratkan kepolisian patut mendapatkan acungan jempol. Cicak yang diibaratkan dengan KPK banyak dijadikan simbul oleh masyarakat untuk membela KPK sebagai penegak demokrasi. Berbagai kalangan masyarakat saling beafiliasi dengan menggunakan kata “Dukung CICAK (Cintai Indonesia Cintai KPK)”.
Akan tetapi reaksi masyarakat terhadap kinerja kepolisian dengan menggunakan istilah tersebut juga tidak akan dengan mudah dihilangkan begitu saja. Masyarakat yang sudah gerah dengan tindakan para penegak hukum yang masih banyak yang berbuat tidak sesuai dengan keadilan langsung beraksi ketika terjadi kasus penahanan personal KPK sebagai institusi penegak hukum yang telah berhasil menyeret para koruptor kepenjara.
Apalagi di era kebebasan informasi saat ini masyarakat dengan mudah mengakses informasi dari berbagai media. Satu informasi bisa ditelaah dari berbagai macam sudut dengan menggunakan kedalaman berita (indept news) dimana satu media bisa melangkapi media yang lain. Dengan demikian masyarakat semakin mudah mengakses informasi yang beraneka ragam. Sekali lagi kita berharap bahwa TPF benar-benar bekerja optimal sesuai dengan harapan bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar