Dalam beberapa pekan terakhir tentu kita sudah tidak asing lagi mendengar dan melihat berbagai sajian berita tentang kasus KPK VS Kepolisian yang disajikan oleh media massa. Kasus tersebut memang menjadi topik berita yang mendapatkan interest yang cukup tinggi dari kalangan audien. Sehingga, tak heran media massa juga menyajikan berita-berta terkait dengan berbagai macam sudut pandang.
Kasus yang semula berawal dengan sangkaan terhadap dua pimpinan KPK, non aktif Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah yang diduga terlibat dalam kasus yang menmyangkut hukum. Dari sangkaan isu suap, penyalahgunaan wewenang hingga pemerasan ini semakin gencar mendapatkan perhatian publik sesudah keluarnya istilah cicak (KPK) VS buaya (Kepolisian) yang di keluarkan oleh Komjen Susno Duadji.
Masyarakatpun semakin bergejolak melihat institusi penegak hukum (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) yang menjadi harapan masyarakat justru malah saling menyerang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dianggap melemahkan KPK yang sudah dianggap sudah cukup bagus kinerjanya. Walkasil dukungan terhadap KPK pun bermunculan dimana-mana dari demontrasi hingga dunia maya.
Sebenarnya istilah cicak VS buaya ini tidak akan mendapatkan perhatian masyarakat jika istilah tersebut hanya muncul dari masyarakat biasa yang tidak mempunyai jabatan dan kedudukan di negara ini. Akan tetapi karena istilah tersebut dimunculkan oleh seseorang yang sedang mempunyai kedudukan dan jabatan strategis di institusi , ditambah istitusi tersebut yang sedang mendapatkan perhatian masyarakat. Maka hal itu cukup banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat.
Tidak heran justru dengan istilah tersebut masyarakat bisa bersatu untuk melawan ketidakadilan di negeri ini. Disatu sisi masyarakat berterimakasih dengan kemunculan istilah tersebut. Disisi lain justru istilah tersebut dianggap menyudutkan bagi instansi dimana salah seorang personalnya mengeluarkan istilah tersebut.
Diakui atau tidak peran etika dalam berbahasa itu juga sangat penting diperhatikan. Terlebih kita tinggal di negara yang mengedepankan budi pekerti dan sifat-sifat adiluhung yang perlu dilestarikan. Maka seseorang yang ingin mendapatkan kepercayaan dan disegani oleh masyarakat juga harus bisa menjaga kredibilitasnya ketika ia berkomunikasi. Terlebih ia sedang memegang jabatan strategis yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Maka etika dalam berbahasa sangat diperlukan.
Etika tidak bisa dipandang sebelah mata. Etika dalam (Yunani Kuno berasal dari "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Dari cara orang berbicara, berkomunikasi itu kita juga bisa sedikit mendapatkan gambaran tentang seseorang tersebut. Jika kita ingin berkomunikasi yang baik maka kita juga harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: Jujur tidak berbohong. Bersikap Dewasa tidak kekanak-kanakan. Lapang dada dalam berkomunikasi.
Menggunakan panggilan / sebutan orang yang baik. Menggunakan pesan bahasa yang efektif dan efisien. Tidak mudah emosi / emosional. Berinisiatif sebagai pembuka dialog. Berbahasa yang baik, ramah dan sopan. Menggunakan pakaian yang pantas sesuai keadaan dan Bertingkahlaku yang baik.
Dalam berbahasa terutama Bahasa Jawa itu ketika dalam berbahasa juga mengaggungkan tingkatan-tingkatan. Secara garis besar, bahasa Jawa dibagi dalam tiga tingkatan besar: Ngoko (tingkatan terendah), Madya (tingkat menengah); dan Kromo (tingkat tertinggi). Itu pun masih bisa dibagi lagi dalam dalam sub tingkatan: Andhap (rendah/kasar); dan Inggil (tinggi/halus). Tingkatan dan sub tingkatan tersebut menghasilkan kombinasi yang tidak sederhana, njelimet dan sulit dipahami. Bahkan oleh orang jawa sekali pun.
Setidaknya hal tersebut bisa menjadi modal kita ketika berbahasa. Terlebih ketika kita sedang memangku kedudukan strategis berbicara di depan publik. Semestinya kita sebagai penerus bangsa ini patut meneruskan nilai-nilai budaya luhur bangsa yang salah satunya adalah mengedepankan etika dalam berbahasa. Dengan demikian ketika kita berkomunikasi juga akan menghasilkan pemahaman yang sama sehingga tidak terjadi mescomunication yang bisa berakibat fatal kelak dikemudian hari.
sumber Wikipedia
oleh Sulatri
Pegiat Pattiro Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar