Selasa, 04 Agustus 2015

Mengintip Dunia LSM

Sering kita mendengar istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ketika membicarakan Non Goverment Organization (NGO). Berbagai pendapat muncul mengenai kedua istilah ini. Ada yang berpendapat bahwa LSM sama dengan NGO. Pendapat lain mengatakan bahwa kedua istilah tersebut berbeda. Mereka yang berbeda pendapat mengatakan bahwa istilah NGO lebih luas daripada LSM karena mencangkup seluruh elemen di luar pemerintah baik bisnis maupun non bisnis.
Anggara (18: 2008) mengatakan dalam tulisannya berjudul Pemberdayaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Upaya Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN)bahwa ada kritik terhadap pengertian NGO/Ornop. Dia dianggap terlalu luas karena mencangkup sektor swasta (bisnis) dan organisasi kemasyarakatan lain yang tentunya juga bersifat non-pemerintah. Rochmad Munawir, salah satu pegiat Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Solo menerangkan bahwa LSM merupakan kata serapan dari bahasa NGO, sehingga keduanya memiliki pengertian yang sama. Karena NGO bukan dari organisasi pemerintah, maka sering muncul sebutan swadaya menjadi lembaga swadaya masyarakat atau disingkat dengan LSM.
Pertemuan antar komunitas jaringan Pattiro Surakarta
Keberadaan LSM di Indonesia begitu berkembang pesat. Dalam konteks good governance, LSM menjadi salah satu unsur dalam mencapai sebuah pemerintahan yang baik. Bersama dengan pemerintah dan bisnis, LSM menjalankan sebuah program pemberdayaan masyarakat.Dana yang mereka peroleh dalam menjalankan program biasanya berasal dari lembaga pendonor. LSM menggandeng lembaga tertentu yang bersedia membiayai ide mereka.
Sebagai lembaga swadaya, LSM memiliki strategi dalam mengumpulkan dana guna menjalankan program. Seperti Yayasan PIRAC di Indonesia. Mereka menjual komputer bekas untuk menjalankan program-program sosial. Ada juga yang mengelola donasi publik, seperti Dompet Dhuafa. Banyak lembaga donor di negara maju seperti AUSAID maupun USAIDyang menjalankan program sosial di negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Mereka menggandeng LSM untuk menjalankan proyek sosial melalui pendanaan yang mereka sediakan.
Resi, Andrianus dkk. (58-59: 2009) menjabarkan fenomena LSM di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak awal abad ke-20. Mula-mula diawali dengan berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908, kemudian disusul dengan organisasi-organisasi lainnya, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Pada tahun 1950-an mulai bermunculan LSM-LSM di Indonesia. Fenomena bersamaan dengan kemunculan lembaga donor internasional yang mulai bermaksud mengembangkankegiatannya ke negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia.
Di masa Orde Baru, dapat disebut LSM tumbuh dan berkembang sebagai sparing partner bagi pemerintah.Salah satu dimensi pertumbuhan LSM pada masa Orde Baru adalah kaitannya dengan lembaga-lembaga atau LSM-LSM luar negeri yang datang ke Indonesia yang pada umumnya bertujuan pengembangan masyarakat.
Pada era 80-an oleh Budairi (dalam Resi, Andrianus dkk., 59: 2009)dijelaskan merupakan era kebangkitan LSM dimana sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proyek-proyek pembangunan. Kegiatan LSM tersebut, baik yang dilakukan sendiri-sendiri maupun bekerja sama dengan pemerintah telah mencakup banyak sektor seperti; usaha kecil dan sektor informal, usaha bersama dan per-koperasian, industri kecil dan perkreditan, kesehatan, penyediaan air bersih dan sanitasi, perbaikan lingkungan pedesaan dan perkotaan dan lain sebagainya.
Kritisi Pemerintah
H. Asep Purnama Bahtiar, S.Ag., M.Si.,  Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FAI UMY) di Kampus Terpadu UMY, Rabu (21/4) mengenai keikutsertaannya dalam workshop dan konferensi yang diselenggarakan oleh China NGO Network  for International Exchanges (CNIE) bekerja sama dengan UN-NGO-Informal Regional Network/Asia Pasicif (IRENE) di Beijing, Qinghai dan Shanghai, 29 Maret hingga 8 April lalu menuturkan Non Governmental Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perlu mengambil posisi sebagai mitra kritis bagi pemerintah daripada membangun hubungan konfrontatif. Hal ini didasari adanya program-program pembangunan yang  belum menyentuh keseluruhan permasalahan yang dihadapi masyarakat, sehingga seringkali kemudian diambil alih oleh LSM terkait.
Dia kemudian menambahkan bahwa NGO harus menjadi mitra yang kritis bagi negara atau pemerintah. Mitra yang kritis dimana NGO dan pemerintah saling bekerja sama dengan tetap mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai kurang tepat dalam menyejahterakan rakyat. “NGO dapat mengingatkan pemerintah ketika ada permasalahan yang belum diselesaikan dengan baik. Demikian juga pemerintah harus dapat menerima masukan dari LSM. Sehingga antara LSM dan pemerintah dapat saling berdampingan demi kepentingan bangsa dan negara,”jelasnya.
Lebih lanjut, sebagian orang menganggap di Indonesia posisi LSM dengan pemerintah seolah-olah seperti ada konfrontasi atau pertentangan. “Selama ini hubungan LSM dengan pemerintah seolah-olah terjadi konfrontasi namun konfrontasi disini bukan konfrontasi fisik melainkan konfrontasi dalam hal berbeda pendapat,” tuturnya. Sehingga demi kepentingan masyarakat hubungan antara NGO dengan pemerintah tidak bisa konfrontatif melainkan sebagai mitra yang kritis.
Salah satu realita yang menunjukkan keberhasilan jalinan kerja sama pemerintah dengan LSM adalah hubungan kerja sama yang dilakukan oleh Birokrasi Pemerintah Daerah Banyuwangi dengan LSM Lembaga Pengembangan Industri Pedesan telah berjalan dengan mencapai hasil yang relatif memuaskan dalam memberdayakan masyarakat pesisir. Hal ini terjadi karena ada kerja sama yang saling mendukung terhadap program dan sasaran yang ingin dicapai.
Pemerintah membuat kebijakan yang cerdas, penyediaan dananya yang memadai untuk proyek pembangunan masyarakat pantai, LSM Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan sebagai aktor pelaksanaan dilapangan dengan pola pendekatan pemberdayaan yang dilakukan-nya tanpa campur tangan terlalu jauh dari Birokrasi Pemerintah telah memeberikan hasil yang relatif optimal. Sinergi kedua-nya telah memberikan dampak positif bagi peningkatan sosial ekonomi masyarakat 6 desa pantai.
Kondisi ini membuktikan teori yang dikemukakan Osborne dan Gabler dalam Re-inventing Government, bahwa Sinergi antara LSM dengan Pemerintah Daerah adalah agar Birokrasi Pemerintah bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan dinamisator dalam pembangunan patut untuk dipertimbangkan. Memang disadari bahwa untuk memerankan tiga fungsi ini bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Sebab mereka akan dibatasi oleh bingkai nilai-nilai politis dan ideologi. Oleh karenanya dalam pembangunan daerah aparat birokrasi tidak akan mampu menjangkau seluruh kebutuhan pembangunan khususnya dibidang sosial ekonomi tanpa melakukan pola kemitraan dengan pihak lain termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Akhir kata, LSM sebagai salah satu unsur dalam mewujudkan good governce pun hendak mewujudkan tujuan negara yang termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila. Idealnya, tak ada istilah pesaing maupun perusuh dalam menilai sinergi antara pemerintah dan LSM. Keduanya perlu saling menopang, mengingatkan agar terbangun keselarasan hubungan. Karena baik pemerintah maupun LSM memiliki keresahan yang sama mengenai kondisi negara ini.

Oleh: Amalina Niara Putri
Pegiat Magang Pattiro Surakarta

Referensi:
Anggara, Khrisna. 2008. Pemberdayaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Upaya Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). Pasca Sarjana Universitas Indonesia

Resi, Andrianus dkk. 2009. Interaksi Birokrasi Pemerintah Dan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Pembangunan (Sinergi Birokrasi Pemerintah dengan Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan (LPIP) dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di Muncar, Banyuwangi). Jurnal WACANA, Vol. 10 No.1 Januari. Hal 54-77

1 komentar: