Sering kita mendengar istilah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) ketika membicarakan Non Goverment Organization (NGO). Berbagai
pendapat muncul mengenai kedua istilah ini. Ada yang berpendapat bahwa LSM sama
dengan NGO. Pendapat lain mengatakan bahwa kedua istilah tersebut berbeda.
Mereka yang berbeda pendapat mengatakan bahwa istilah NGO lebih luas daripada
LSM karena mencangkup seluruh elemen di luar pemerintah baik bisnis maupun non
bisnis.
Anggara (18: 2008) mengatakan dalam tulisannya
berjudul Pemberdayaan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dalam Upaya
Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN)bahwa
ada kritik terhadap pengertian NGO/Ornop. Dia dianggap terlalu luas karena
mencangkup sektor swasta (bisnis) dan organisasi kemasyarakatan lain yang
tentunya juga bersifat non-pemerintah. Rochmad Munawir, salah satu pegiat Pusat
Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Solo menerangkan bahwa LSM merupakan
kata serapan dari bahasa NGO, sehingga keduanya memiliki pengertian yang sama.
Karena NGO bukan dari organisasi pemerintah, maka sering muncul sebutan swadaya
menjadi lembaga swadaya masyarakat atau disingkat dengan LSM.
Pertemuan antar komunitas jaringan Pattiro Surakarta |
Sebagai lembaga swadaya, LSM memiliki strategi dalam
mengumpulkan dana guna menjalankan program. Seperti Yayasan PIRAC di Indonesia.
Mereka menjual komputer bekas untuk menjalankan program-program sosial. Ada
juga yang mengelola donasi publik, seperti Dompet Dhuafa. Banyak lembaga donor
di negara maju seperti AUSAID maupun USAIDyang menjalankan program sosial di
negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Mereka menggandeng LSM untuk menjalankan
proyek sosial melalui pendanaan yang mereka sediakan.
Resi, Andrianus dkk. (58-59: 2009) menjabarkan fenomena
LSM di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak awal abad ke-20. Mula-mula diawali dengan
berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908, kemudian disusul dengan
organisasi-organisasi lainnya, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Pada tahun 1950-an mulai bermunculan LSM-LSM di
Indonesia. Fenomena
bersamaan dengan kemunculan lembaga donor internasional yang mulai bermaksud
mengembangkankegiatannya ke negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia.
Di
masa Orde Baru, dapat disebut LSM tumbuh dan berkembang sebagai sparing partner
bagi pemerintah.Salah satu dimensi pertumbuhan LSM pada masa Orde Baru adalah
kaitannya dengan lembaga-lembaga atau LSM-LSM luar negeri yang datang ke
Indonesia yang pada umumnya bertujuan pengembangan masyarakat.
Pada era 80-an oleh Budairi (dalam Resi, Andrianus
dkk., 59: 2009)dijelaskan merupakan era kebangkitan LSM
dimana sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mendorong dan meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam proyek-proyek pembangunan. Kegiatan LSM tersebut,
baik yang dilakukan sendiri-sendiri maupun bekerja sama dengan pemerintah telah
mencakup banyak sektor seperti; usaha kecil dan sektor informal, usaha bersama
dan per-koperasian, industri kecil dan perkreditan, kesehatan, penyediaan air
bersih dan sanitasi, perbaikan lingkungan pedesaan dan perkotaan dan lain
sebagainya.
Kritisi Pemerintah
H. Asep Purnama
Bahtiar, S.Ag., M.Si., Dosen Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (FAI UMY) di Kampus Terpadu UMY, Rabu (21/4) mengenai
keikutsertaannya dalam workshop dan konferensi yang diselenggarakan oleh China
NGO Network for International Exchanges (CNIE) bekerja sama dengan UN-NGO-Informal
Regional Network/Asia Pasicif (IRENE) di Beijing, Qinghai dan Shanghai, 29
Maret hingga 8 April lalu
menuturkan Non
Governmental Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) perlu mengambil posisi sebagai mitra kritis bagi pemerintah
daripada membangun hubungan konfrontatif. Hal ini didasari adanya
program-program pembangunan yang belum menyentuh keseluruhan permasalahan
yang dihadapi masyarakat, sehingga seringkali kemudian diambil alih oleh LSM
terkait.
Dia kemudian menambahkan bahwa NGO harus menjadi mitra
yang kritis bagi negara atau pemerintah. Mitra yang kritis dimana NGO dan
pemerintah saling bekerja sama dengan tetap mengkritisi kebijakan pemerintah
yang dinilai kurang tepat dalam menyejahterakan rakyat. “NGO dapat mengingatkan
pemerintah ketika ada permasalahan yang belum diselesaikan dengan baik.
Demikian juga pemerintah harus dapat menerima masukan dari LSM. Sehingga antara
LSM dan pemerintah dapat saling berdampingan demi kepentingan bangsa dan
negara,”jelasnya.
Lebih lanjut, sebagian orang menganggap di Indonesia
posisi LSM dengan pemerintah seolah-olah seperti ada konfrontasi atau
pertentangan. “Selama ini hubungan LSM dengan pemerintah seolah-olah terjadi
konfrontasi namun konfrontasi disini bukan konfrontasi fisik melainkan konfrontasi
dalam hal berbeda pendapat,” tuturnya. Sehingga demi kepentingan masyarakat
hubungan antara NGO dengan pemerintah tidak bisa konfrontatif melainkan sebagai
mitra yang kritis.
Salah satu realita yang menunjukkan keberhasilan jalinan kerja sama pemerintah
dengan LSM adalah hubungan kerja sama yang dilakukan oleh
Birokrasi Pemerintah Daerah Banyuwangi dengan LSM Lembaga Pengembangan Industri
Pedesan telah berjalan dengan mencapai hasil yang relatif memuaskan dalam
memberdayakan masyarakat pesisir. Hal ini terjadi karena ada kerja sama yang
saling mendukung terhadap program dan sasaran yang ingin dicapai.
Pemerintah membuat
kebijakan yang cerdas, penyediaan dananya yang memadai untuk proyek pembangunan
masyarakat pantai, LSM Lembaga Pengembangan Industri Pedesaan sebagai aktor
pelaksanaan dilapangan dengan pola pendekatan pemberdayaan yang dilakukan-nya
tanpa campur tangan terlalu jauh dari Birokrasi Pemerintah telah memeberikan
hasil yang relatif optimal. Sinergi kedua-nya telah memberikan dampak positif
bagi peningkatan sosial ekonomi masyarakat 6 desa pantai.
Kondisi ini membuktikan teori yang dikemukakan Osborne
dan Gabler dalam Re-inventing Government, bahwa Sinergi antara LSM dengan
Pemerintah Daerah adalah agar Birokrasi Pemerintah bertindak sebagai fasilitator,
motivator, dan dinamisator dalam pembangunan patut untuk dipertimbangkan.
Memang disadari bahwa untuk memerankan tiga fungsi ini bukan merupakan
pekerjaan yang mudah. Sebab mereka akan dibatasi oleh bingkai nilai-nilai
politis dan ideologi. Oleh karenanya dalam pembangunan daerah aparat birokrasi
tidak akan mampu menjangkau seluruh kebutuhan pembangunan khususnya dibidang
sosial ekonomi tanpa melakukan pola kemitraan dengan pihak lain termasuk
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Akhir kata,
LSM sebagai salah satu unsur dalam mewujudkan good governce pun hendak mewujudkan tujuan negara yang termaktub
dalam UUD 1945 dan Pancasila. Idealnya, tak ada istilah pesaing maupun perusuh
dalam menilai sinergi antara pemerintah dan LSM. Keduanya perlu saling
menopang, mengingatkan agar terbangun keselarasan hubungan. Karena baik
pemerintah maupun LSM memiliki keresahan yang sama mengenai kondisi negara ini.
Oleh:
Amalina Niara Putri
Pegiat
Magang Pattiro Surakarta
Referensi:
Anggara, Khrisna. 2008. Pemberdayaan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dalam Upaya
Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN).
Pasca Sarjana Universitas Indonesia
Humas UMY. 2010. LSM, Mitra
Kritis Bagi Pemerintah diunduh melalui http://www.umy.ac.id/lsm-mitra-kritis-bagi-pemerintah.html pada 2/7/15
Resi, Andrianus dkk.
2009. Interaksi Birokrasi Pemerintah Dan Lembaga Swadaya
Masyarakat Dalam Pembangunan (Sinergi Birokrasi Pemerintah dengan Lembaga Pengembangan
Industri Pedesaan (LPIP) dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di Muncar,
Banyuwangi). Jurnal WACANA, Vol. 10 No.1 Januari. Hal 54-77
mantap, terimakasih
BalasHapus