Selasa, 04 Agustus 2015

Selayang Pandang tentang NGO

Oleh: Okki Chandra Ambarwati
Pegiat Magang Pattiro Surakarta

Seperti yang kita ketahui bahwa dalam menjalankan urusan publik semula actor utama yang berperan adalah pemerintah atau Negara saja.  Namun seiring berjalannya waktu dengan semakin banyaknya urusan dan permasalahan yang harus ditangani oleh pemerintah, maka dibutuhkan actor lain diluar pemerintah untuk membantu Negara/state dalam memenuhi kebutuhan dan menyelenggarakan pelayanan kepada public/masyarakat. Dalam pandangan governance, actor di luar state itu meliputi privat, supra state dan society.

Diskusi JARPUK Ngudi Lestari Solo  terkait pelayanan publik

Pada mulanya aktor-aktor diluar state / government itu sering disebut dengan  “non-governmental organizationatau NGO yang  digunakan sejak berdirinya PBB pada tahun 1945, tepatnya pada pada Piagam PBB Pasal 71 Bab 10 tentang peranan konsultatif non-governmental organization. Awalnya istilah ini digunakan untuk membedakan antara hak partisipatif badan-badan pemerintah (intergovernmental agencies) dan organisasi-organisasi swasta international (international private organizations). Sehingga dalam artian ini privat/swasta pun bisa masuk dalam NGO.

Mengintip Dunia LSM

Sering kita mendengar istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ketika membicarakan Non Goverment Organization (NGO). Berbagai pendapat muncul mengenai kedua istilah ini. Ada yang berpendapat bahwa LSM sama dengan NGO. Pendapat lain mengatakan bahwa kedua istilah tersebut berbeda. Mereka yang berbeda pendapat mengatakan bahwa istilah NGO lebih luas daripada LSM karena mencangkup seluruh elemen di luar pemerintah baik bisnis maupun non bisnis.
Anggara (18: 2008) mengatakan dalam tulisannya berjudul Pemberdayaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Upaya Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN)bahwa ada kritik terhadap pengertian NGO/Ornop. Dia dianggap terlalu luas karena mencangkup sektor swasta (bisnis) dan organisasi kemasyarakatan lain yang tentunya juga bersifat non-pemerintah. Rochmad Munawir, salah satu pegiat Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Solo menerangkan bahwa LSM merupakan kata serapan dari bahasa NGO, sehingga keduanya memiliki pengertian yang sama. Karena NGO bukan dari organisasi pemerintah, maka sering muncul sebutan swadaya menjadi lembaga swadaya masyarakat atau disingkat dengan LSM.
Pertemuan antar komunitas jaringan Pattiro Surakarta

Sang Inovator Bangsa

Sudah sepuluh tahun lebih Indonesia memasuki era Reformasi. Tuntutan perubahan yang diteriakan oleh mahasiswa, penggebrak rezim Soeharto ternyata belum mampu menyentuh sendi-sendi masyarakat yang berkeadilan. Salah satu bukti reformasi adalah kebebasan berekspresi. Kini pers tak lagi mendapat pengekangan dari pemerintah. Kebenaran dapat diungkap hingga akarnya. Sayangnya,tak sedikit pihak yang memanfaatkan pers sebagai alat untuk memperluas kekuasaan dan sarana pencitraan demi meraup suara.
Disisi lain, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih menjadi ‘penyakit’ bagi bangsa ini. Seperi berita yang dilansir SuaraMerdeka (4/8/2015), KPK baru saja mengungkap kasus suap hakim PTUN oleh gubernur Sumatera Utara.Teori pembangunanTrickle Down Effect yang dicetuskan pada masa Soeharto belum mampu membuahkan hasil. Sebab,tak ada pemerataan pembangunan. Di negeri ini yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin terdesak dengan masalah kesejahteraan. Mengutip Republika online (2/1/2015), ada tambahan penduduk miskin sekitar 1,9 juta jiwapadatahun 2015. Setelah sebelumnya pada tahun 2014mencapai 11,25 persen atau 28,28 juta jiwa.
Melihat fenomena ini, perwujudan Pancasila menjadi utopis dan semakin jauh dari realita. Namun, taksalah bila bangsa ini masih menyimpan harapan kesejahteraan pada kelima butir yang tercantum pada dasar Negara tersebut. Sebab, masyarakat sipil memiliki hak dalam menyuarakan aspirasi mereka. Mengkritik pemerintah kini bukanlah hal yang tabu. Siapapun dapat menuangkan pendapat, sekalipun bertentangan dengan pemerintah. Karena kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat telah diatur secara konstitusi, pada UUD 1945 pasal 28 ayat 3.