Kita
tentu masih ingat tentang kumadang reformasi tahun 1998. Pada waktu itu segenap
elemen masyarakat baik rakyat kecil, mahasiswa, akademisi, budayawan, PKL,
buruh, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat dan elemen yang lain
bersama-sama turun ke jalan mengumandangkan kata reformasi diperbagai bidang.
Hal yang penting yang ingin diperbaiki di negeri ini adalah pemberantasan KKN
(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Diantara tiga masalah besar itu kita mencoba
mengambil satu permasalahan disini yaitu korupsi.
Hampir
sepuluh tahun lebih reformasi berjalan ternyata persoalan korupsi masih sulit
ditangani. Keberadaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ternyata tidak
menyurutkan para oknum koruptor untuk melakukan pembocoran keuangan Negara
dimana-mana. Bahkan dalam buku yang
diterbitkan KPK tentang pentingnya nilai Integritas menyebutkan bahwa korupsi
yang dilakukan saat itu justru semakin sistematis dan susah terendus pihak yang
berwenang.
Adanya
berbagai kemajuan teknologi dan informasi yang semakin membuka kemajuan
masyarakat justru disisi lain juga dimanfaatkan oleh para koruptor dalam
menjalankan aksinya. “Istilahnya bahwa
korupsi di Indonesia ini sudah menjadi wabah AIDS yang menular dengan cepatnya.
Korupsi semakin dikemas dengan baik oleh para pejabat baik eksekutif,
legislative dan yudikatif dan dijaga keutuhannya”, Tribun Jakarta Edisi Pagi, 3
April 2012.
Sungguh amat ironis sekali kehidupan
antara pejabat dan masyarakat pada umumnya. Banyak para pejabat mengunakan
kekuasaanya menggunakan uang rakyat
sesukanya bahkan dengan semakin lebih terorganisir rapi melakukan korupsi hanya
untuk kemakmuran pejabat keluarga dan kroni-kroninya. Sementara rakyat jelata
semakin susah untuk mendapatkan makan, tempat tinggal dan berbagai hak-hak yang
seharusnya ia peroleh sebagai salah satu warga negara di Republik tercinta ini.
Padahal
adanya reformasi yang gencar dan memuncak
pada tahun 2008, agenda besar yang diusung adalah pemberantasan KKN (Korupsi,
Kolusi & Nepotisme). Tapi mengapa justru hal tersebut saat ini justru
semakin kelihatan tanpa tedeng
aling-aling. Sungguh disayangkan para aktifis yang turut menggelorakan reformasi
juga malah terseret menjadi pelaku KKN ketika diamanahi jabatan. Demikian pula
para penegak hukum yang ada di negeri ini.
Berbagai peraturan telah berusaha
diterbitkan dan juga direvisi untuk memberikan hal-hal terbaik dalam mengatur
negeri ini. Tapi kita tidak menutup mata bahwa ternyata meski sudah dibuat
peraturan yang begitu baiknya dengan berbagai proses yang menelan waktu,
pikiran dan biaya yang tidak sedikit tapi realita dilapangan masih banyak
ketimpangannya. Yang lebih membuat kita semakin mengelus dada kenapa justru
yang melakukan pelanggaran itu justru para pejabat publik yang seharusnya
memberikan contoh bagaimana menjadi pelayan publik dan warga negara yang baik bisa berjuang untuk
kemakmuran bangsa ini justru sebaliknya?
Tentunya kita sebagai
warga Negara Indonesia sangat menyesalkan akan perbuatan-perbuatan tersebut.
Uang Negara yang dihimpun dari rakyat dengan susah payah hanya habis karena
disalahgunakan oleh para pelaku korupsi di negeri ini. Jika kita kembali
membuka UUD 45 pasal 33 ayat 3 disana disebutkan bahwa bumi dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berarti
dengan adanya perbuatan korupsi ini jelas-jelas melanggar UUD 45 yang telah di
buat dan dicita-citakan oleh para pendahulu kita.
Pengertian Korupsi
Sering
kali kita terbiasa mendengar atau mengucapkan kata korupsi. Untuk mengetahui
lebih detail apa yang dimaksud korupsi disini kita akan mencoba menampilkan
pengertian tentang korupsi. Dari Wikipedia Maret 2010, Korupsi (bahasa
Latin: corruptio dari data kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara
harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.[1]
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara
garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
- perbuatan melawan hukum;
- penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
- memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
- merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi
yang lain, di antaranya:
- memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
- penggelapan dalam jabatan;
- pemerasan dalam jabatan;
- ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
- menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi
berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat
yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang
arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa
berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering
memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan
prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk
mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan
antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada
perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada
yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Dampak Korupsi
Kegiatan korupsi jika
dilakukan maka nantinya akan mengakibatkan dampak dan efek berantai yang akan
berdampak luas. Dampak korupsi antara lain: Pertama
dengan adanya korupsi jelas merugikan keuangan Negara yang akan semakin
meningkatkan beban keuangan negara. Kedua angka kemiskinan tidak berkurang
justru bertambah karena dana yang seharusnya dipergunakan untuk memakmurkan
rakyat telah dikorupsi.
Ketiga, dengan terjadinya banyaknya kasus korupsi justru akan
menggoyahkan para penegak hukum menjalankan fungsinya. Akhirnya para penegak
hukumpun tergiring untuk melakukan pemakluman-pemakluman kasus-kasus korupsi
dan banyak para koruptor yang bebas dari jeratan hukum. Keempat
semakin menjamurnya perlaku korupsi di tengah masyarakat karena dianggap itu
sebagai hal bisaa bahkan menjadi budaya.
Kelima, adanya pandangan yang miring terhadap para penegak hukum. Jika demikian maka masyarakat akan turun
kepercayaannya terhadap penegak hukum. Keenam, jika kepercayaan terhadap para
penegak hokum lemah maka bukan mustahil kepercayaan terhadap lembaga-lembaga
Negara bahkan negarapun akan semakin turun. Bukan hanya kepercayaan dari rakyat
tapi juga mancanegara. Ketujuh, jika korupsi dibiarkan terus menrus maka
nantinya ada kemalasan masyarakat untuk membayar pajak dan akhirnya Negara juga
kesusahan mendapatkan pendapatan dari sector pajak.
Apa
yang bisa dilakukan oleh masyarakat
Hal
yang perlu dilakukan untuk pencegahan korupsi anggaran Negara yaitu penguatan
terhadap integritas, akuntabilitas dengan partisipatif akan berbagai program
pemerintah oleh seluruh stakeholder terutama terkait dengan pelayanan publik.
Baik itu oleh pemerintah, legislative, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat,
akademisi, media massa maupun masyarakat yang menjadi sasaran program tersebut.
Dalam
UU No 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik disebutkan bahwa peran
serta masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik itu terbuka. Pelayanan
publik sendiri meliputi hal: 1. Pelayanan administrasi yang didalamnya ada kependudukan
dan perijinan. 2. Penyediaan barang publik seperti perumahan rakyat, irigasi,
transportasi dll. 3. Penyediaan jasa publik meliputi: pelayanan kesehatan, pemakaman,
telekomunikasi, kebersihan, pendidikan, pemadam kebakaran dll.
Hak
masyarakat dalam pelayanan publik sendiri tercantum dalam pasal 18
UU/25/2009 tentang pelayanan publik.
Antara lain: Mengetahui isi standar
pelayanan, Mengawasi pelaksanaan standar pelayanan. Mendapatkan tanggapan atas
pengaduannya. Mendapatkan perlindungan dan pemenuhan pelayanan. Lapor kepada
pimpinan penyelengaran jika ada pelayanan yang tidak sesuai Standar Pelayanan.
Peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik bisa dimulai sejak penyusunan standar pelayanan, evaluasi pelayanan publik dan pemberian penghargaan. Sedang peran serta masyarakat bisa juga
diwujudkan dalam bentuk kerja sama, pemenuhan hak dan kewajiban
masyarakat, serta peran aktif dalam
penyusunan kebijakan pelayanan publik. Masyarakat juga dapat membentuk lembaga pengawasan pelayanan
publik.
Kran
partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik dan pihak terkait yang dilibatkan
partisipasi sendiri bersifat: Tidak diskriminatif, Mereka yang dilibatkan
terkait langsung dengan jenis pelayanan. Mereka yang dilibatkan memiliki
kompetensi, musyawarah dan memperhatikan keberagaman. Untuk itu mari kita
bersama-sama mencegah korupsi dengan memanfaatkan hak-hak masyarakat dalam
pelayanan publik seoptimal mungkin agar kesejahteranaan NKRI bisa terwujud.
Oleh: Sulatri
Pegiat Pattiro Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar