Rabu, 29 Januari 2014

Awasi Pelayanan Publik sebagai Upaya Pencegahan Korupsi



Kita tentu masih ingat tentang kumadang reformasi tahun 1998. Pada waktu itu segenap elemen masyarakat baik rakyat kecil, mahasiswa, akademisi, budayawan, PKL, buruh, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat dan elemen yang lain bersama-sama turun ke jalan mengumandangkan kata reformasi diperbagai bidang. Hal yang penting yang ingin diperbaiki di negeri ini adalah pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Diantara tiga masalah besar itu kita mencoba mengambil satu permasalahan disini yaitu korupsi.
Hampir sepuluh tahun lebih reformasi berjalan ternyata persoalan korupsi masih sulit ditangani. Keberadaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ternyata tidak menyurutkan para oknum koruptor untuk melakukan pembocoran keuangan Negara dimana-mana.  Bahkan dalam buku yang diterbitkan KPK tentang pentingnya nilai Integritas menyebutkan bahwa korupsi yang dilakukan saat itu justru semakin sistematis dan susah terendus pihak yang berwenang.
Adanya berbagai kemajuan teknologi dan informasi yang semakin membuka kemajuan masyarakat justru disisi lain juga dimanfaatkan oleh para koruptor dalam menjalankan aksinya.  “Istilahnya bahwa korupsi di Indonesia ini sudah menjadi wabah AIDS yang menular dengan cepatnya. Korupsi semakin dikemas dengan baik oleh para pejabat baik eksekutif, legislative dan yudikatif dan dijaga keutuhannya”, Tribun Jakarta Edisi Pagi, 3 April 2012.
Sungguh amat ironis sekali kehidupan antara pejabat dan masyarakat pada umumnya. Banyak para pejabat mengunakan kekuasaanya  menggunakan uang rakyat sesukanya bahkan dengan semakin lebih terorganisir rapi melakukan korupsi hanya untuk kemakmuran pejabat keluarga dan kroni-kroninya. Sementara rakyat jelata semakin susah untuk mendapatkan makan, tempat tinggal dan berbagai hak-hak yang seharusnya ia peroleh sebagai salah satu warga negara di Republik tercinta ini.
Padahal adanya reformasi yang gencar  dan memuncak pada tahun 2008, agenda besar yang diusung adalah pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi & Nepotisme). Tapi mengapa justru hal tersebut saat ini justru semakin kelihatan tanpa tedeng aling-aling. Sungguh disayangkan para aktifis yang turut menggelorakan reformasi juga malah terseret menjadi pelaku KKN ketika diamanahi jabatan. Demikian pula para penegak hukum yang ada di negeri ini.
Berbagai peraturan telah berusaha diterbitkan dan juga direvisi untuk memberikan hal-hal terbaik dalam mengatur negeri ini. Tapi kita tidak menutup mata bahwa ternyata meski sudah dibuat peraturan yang begitu baiknya dengan berbagai proses yang menelan waktu, pikiran dan biaya yang tidak sedikit tapi realita dilapangan masih banyak ketimpangannya. Yang lebih membuat kita semakin mengelus dada kenapa justru yang melakukan pelanggaran itu justru para pejabat publik yang seharusnya memberikan contoh bagaimana menjadi pelayan publik  dan warga negara yang baik bisa berjuang untuk kemakmuran bangsa ini justru sebaliknya?
Tentunya kita sebagai warga Negara Indonesia sangat menyesalkan akan perbuatan-perbuatan tersebut. Uang Negara yang dihimpun dari rakyat dengan susah payah hanya habis karena disalahgunakan oleh para pelaku korupsi di negeri ini. Jika kita kembali membuka UUD 45 pasal 33 ayat 3 disana disebutkan bahwa bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan   digunakan untuk  sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berarti dengan adanya perbuatan korupsi ini jelas-jelas melanggar UUD 45 yang telah di buat dan dicita-citakan oleh para pendahulu kita.
Pengertian Korupsi
Sering kali kita terbiasa mendengar atau mengucapkan kata korupsi. Untuk mengetahui lebih detail apa yang dimaksud korupsi disini kita akan mencoba menampilkan pengertian tentang korupsi. Dari Wikipedia Maret 2010, Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari data kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.[1]
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
  • perbuatan melawan hukum;
  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
  • penggelapan dalam jabatan;
  • pemerasan dalam jabatan;
  • ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
  • menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Dampak Korupsi
Kegiatan korupsi jika dilakukan maka nantinya akan mengakibatkan dampak dan efek berantai yang akan berdampak luas. Dampak korupsi antara lain: Pertama dengan adanya korupsi jelas merugikan keuangan Negara yang akan semakin meningkatkan beban keuangan negara. Kedua angka kemiskinan tidak berkurang justru bertambah karena dana yang seharusnya dipergunakan untuk memakmurkan rakyat telah dikorupsi.
Ketiga, dengan terjadinya banyaknya kasus korupsi justru akan menggoyahkan para penegak hukum menjalankan fungsinya. Akhirnya para penegak hukumpun tergiring untuk melakukan pemakluman-pemakluman kasus-kasus korupsi dan banyak para koruptor yang bebas dari jeratan hukum.   Keempat semakin menjamurnya perlaku korupsi di tengah masyarakat karena dianggap itu sebagai hal bisaa bahkan menjadi budaya.
Kelima, adanya pandangan yang miring terhadap para penegak hukum.  Jika demikian maka masyarakat akan turun kepercayaannya terhadap penegak hukum.  Keenam, jika kepercayaan terhadap para penegak hokum lemah maka bukan mustahil kepercayaan terhadap lembaga-lembaga Negara bahkan negarapun akan semakin turun. Bukan hanya kepercayaan dari rakyat tapi juga mancanegara. Ketujuh, jika korupsi dibiarkan terus menrus maka nantinya ada kemalasan masyarakat untuk membayar pajak dan akhirnya Negara juga kesusahan mendapatkan pendapatan dari sector pajak.
Apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat
Hal yang perlu dilakukan untuk pencegahan korupsi anggaran Negara yaitu penguatan terhadap integritas, akuntabilitas dengan partisipatif akan berbagai program pemerintah oleh seluruh stakeholder terutama terkait dengan pelayanan publik. Baik itu oleh pemerintah, legislative, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, akademisi, media massa maupun masyarakat yang menjadi sasaran program tersebut.
Dalam UU No 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik disebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik itu terbuka. Pelayanan publik sendiri meliputi hal: 1. Pelayanan administrasi yang didalamnya ada kependudukan dan perijinan. 2. Penyediaan barang publik seperti perumahan rakyat, irigasi, transportasi dll. 3. Penyediaan jasa publik meliputi: pelayanan kesehatan, pemakaman, telekomunikasi, kebersihan, pendidikan, pemadam  kebakaran dll.
Hak masyarakat dalam pelayanan publik sendiri tercantum dalam pasal 18 UU/25/2009  tentang pelayanan publik. Antara lain:  Mengetahui isi standar pelayanan, Mengawasi pelaksanaan standar pelayanan. Mendapatkan tanggapan atas pengaduannya. Mendapatkan perlindungan dan pemenuhan pelayanan. Lapor kepada pimpinan penyelengaran jika ada pelayanan yang tidak sesuai Standar Pelayanan.
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik bisa dimulai sejak penyusunan standar pelayanan, evaluasi  pelayanan publik dan pemberian penghargaan.  Sedang peran serta masyarakat bisa juga diwujudkan  dalam bentuk kerja sama, pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, serta peran aktif dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik. Masyarakat juga dapat membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik.
Kran partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik dan pihak terkait yang dilibatkan partisipasi sendiri bersifat: Tidak diskriminatif, Mereka yang dilibatkan terkait langsung dengan jenis pelayanan. Mereka yang dilibatkan memiliki kompetensi, musyawarah dan memperhatikan keberagaman. Untuk itu mari kita bersama-sama mencegah korupsi dengan memanfaatkan hak-hak masyarakat dalam pelayanan publik seoptimal mungkin agar kesejahteranaan NKRI bisa terwujud.
Oleh: Sulatri
Pegiat Pattiro Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar