Rabu, 29 Januari 2014

Pentingnya Partisipasi & Transparansi di Sekolah



Kita tahu bahwa SMA N 4 Surakarta yang berlokasi di daerah Manahan ini menjadi sekolah incaran (unggulan) para siswa untuk melanjutkan pendidikan menengah di Kota Solo. Banyak yang menyanjung sekolah ini bisa tetap mempertahankan mutunya dengan baik meskipun menolak jadi RSBI (sebelum dicabut oleh MK). Ternyata salah satu hal penting yang dilakukan adalah adanya ruang partisipasi & juga tranparansi mengenai anggaran di sekolah.

Hal ini diungkapkan oleh Unggul.S, Kepala SMA N 4 Surakarta dalam acara “Hearing Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta (MPPS) Membangun Pendidikan Solo Lebih Baik” di SMA N 4 Surakarta, Sabtu, 2 Februari 2013 . beliau menjelaskan bahwa SMA N 4 surakarta berusaha untuk membuka partisipasi untuk kemajuan sekolah. Bukan hanya haknya kepala sekolah tapi juga hak semua komponen yang ada di sekolah tersebut juga masyarakat baik orang tua siswa, alumni, komite sekolah maupun stakeholder yang ingin membangun bersama sekolah tersebut lebih baik. 

Masalah tranparansi anggaran juga didorong di sekolah ini. Rencana Anggaran Kegiatan Sekolah (RAKS) bukan hal tabu untuk diketahui publik, bukan hanya diketahui pihak sekolah saja. Di SMA N 4 Surakarta setiap tahun ada pleno yang melibatkan seluruh orang tua siswa. Nah diforum ini biasanya dibagi dokumen RAKS dan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) untuk kelas II & III. Para peserta dipersilahkan untuk bisa memberikan masukan dan pengritisan terhadap dokumen tersebut.

Untuk RAKS sendiri di SMA N 4 Surakarta bukan hanya ada dimiliki oleh kepala sekolah tapi juga ada di masing-masing wakasek dan ada juga di ruang guru. Hal ini untuk mempermudah sosialisasi terhadap berbagai agenda yang direncanakan oleh sekolah. 

Sebenarnya banyak hal yang bisa dipelajari dari sekolah tersebut untuk dikembangkan di Sekolah yang lainya, Jelas Unggul.S yang didampingi wakil kepala sekolah dan para pendidik dan karyawan yang mengurusi layanan pendidikan, kurikulum maupun kesiswaan dalam diskusi tersebut. Ternyata ada berbagai cara yang dilakukan SMA N 4 Surakarta untuk mempertahankan kelebihan sekolah. 

Diskusi Rutin MPPS di Kator Pattiro Surakarta
Pertama adalah metode partisipasi, berbagai kebijakan sekolah itu bukan hanya bergantung kepada kepala sekolah tapi juga membuka ruang partisipasi kepada komponen yang ada di sekolah khususnya guru dan juga masyarakat luas termasuk komite sekolah. Kedua selektif terhadap anak pindahan dari sekolah lain agar lebih mengelola siswanya. Ketiga seletif terhadap penerimaan Komite Sekolah. Keempat, ada kerjasama yang baik antara komite sekolah dan pihak sekolah. Para anggota komite sekolah berani menentang kebijakan sekolah jika itu tidak membantu kemajuan sekolah terutama untuk siswa.  Kelima,  adanya pemimpin yang konsisten terhadap integritas dan juga mempunyai jiwa besar untuk membangun sekolah. Nah dalam hal ini memang lebih tertuju kepada kepala sekolah.

Keenam, adanya pembagian kerja yang jelas terhadap para pendidik dan karyawan yang ada di sekolah sehingga pembagian kerja bisa berjalan dengan baik. Ketujuh, adanya subsidi bagi orang yang tidak mampu bahkan ada pembebasan SPP maupun biaya LKS. Kedelapan adanya jaringan dengan alumni yang cukup baik yang ikut membantu berbagai kebutuhan sekolah seperti persoalan biaya. 


Kesembilan, adanya pengawasan yang cukup ketat terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan dalam organisasi siswa yang ada di sekolah tersebut. Jadi kegiatan yang kurang menunjang pendidikan siswa atau resikonya juga besar juga tidak perbolehkan. Kesepuluh, adanya tranparansi anggaran sekolah kepada masyarakat khususnya orang tua siswa. Kesebelas, ada kedekatan dengan media massa sehinga mudah intuk sharing informasi ke masyarakat. Kesebelas, tidak menggunakan jam pelajran untuk rapat dan kegiatan diluar mengajar. Kedua belas menarik SPP sesuai BOSP Surakarta. Dan yang terakhir adalah mempersilahkan pemanfaatan fasilitas SMA N 4 Surakarta untuk masyarakat selama tidak menganggu jam pelajaran. 

Dalam diskusi tersebut dari  MPPS yang hadir ada Hastin Dirgantari, koordinator MPPS, Pardoyo, Wartawan Solopos, Aniek dari Ekasita, Anita dari Fatayat dan penulis sendiri serta para Mahasiswa BEM FKIP UMS. Sementara banyak anggota MPPS yang lain ijin tidak bisa ikut karena sedang ada keperluan.

Oleh Sulatri
Pegiat Pattiro Surakarta

Awasi Pelayanan Publik sebagai Upaya Pencegahan Korupsi



Kita tentu masih ingat tentang kumadang reformasi tahun 1998. Pada waktu itu segenap elemen masyarakat baik rakyat kecil, mahasiswa, akademisi, budayawan, PKL, buruh, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat dan elemen yang lain bersama-sama turun ke jalan mengumandangkan kata reformasi diperbagai bidang. Hal yang penting yang ingin diperbaiki di negeri ini adalah pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Diantara tiga masalah besar itu kita mencoba mengambil satu permasalahan disini yaitu korupsi.
Hampir sepuluh tahun lebih reformasi berjalan ternyata persoalan korupsi masih sulit ditangani. Keberadaan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ternyata tidak menyurutkan para oknum koruptor untuk melakukan pembocoran keuangan Negara dimana-mana.  Bahkan dalam buku yang diterbitkan KPK tentang pentingnya nilai Integritas menyebutkan bahwa korupsi yang dilakukan saat itu justru semakin sistematis dan susah terendus pihak yang berwenang.
Adanya berbagai kemajuan teknologi dan informasi yang semakin membuka kemajuan masyarakat justru disisi lain juga dimanfaatkan oleh para koruptor dalam menjalankan aksinya.  “Istilahnya bahwa korupsi di Indonesia ini sudah menjadi wabah AIDS yang menular dengan cepatnya. Korupsi semakin dikemas dengan baik oleh para pejabat baik eksekutif, legislative dan yudikatif dan dijaga keutuhannya”, Tribun Jakarta Edisi Pagi, 3 April 2012.
Sungguh amat ironis sekali kehidupan antara pejabat dan masyarakat pada umumnya. Banyak para pejabat mengunakan kekuasaanya  menggunakan uang rakyat sesukanya bahkan dengan semakin lebih terorganisir rapi melakukan korupsi hanya untuk kemakmuran pejabat keluarga dan kroni-kroninya. Sementara rakyat jelata semakin susah untuk mendapatkan makan, tempat tinggal dan berbagai hak-hak yang seharusnya ia peroleh sebagai salah satu warga negara di Republik tercinta ini.
Padahal adanya reformasi yang gencar  dan memuncak pada tahun 2008, agenda besar yang diusung adalah pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi & Nepotisme). Tapi mengapa justru hal tersebut saat ini justru semakin kelihatan tanpa tedeng aling-aling. Sungguh disayangkan para aktifis yang turut menggelorakan reformasi juga malah terseret menjadi pelaku KKN ketika diamanahi jabatan. Demikian pula para penegak hukum yang ada di negeri ini.
Berbagai peraturan telah berusaha diterbitkan dan juga direvisi untuk memberikan hal-hal terbaik dalam mengatur negeri ini. Tapi kita tidak menutup mata bahwa ternyata meski sudah dibuat peraturan yang begitu baiknya dengan berbagai proses yang menelan waktu, pikiran dan biaya yang tidak sedikit tapi realita dilapangan masih banyak ketimpangannya. Yang lebih membuat kita semakin mengelus dada kenapa justru yang melakukan pelanggaran itu justru para pejabat publik yang seharusnya memberikan contoh bagaimana menjadi pelayan publik  dan warga negara yang baik bisa berjuang untuk kemakmuran bangsa ini justru sebaliknya?
Tentunya kita sebagai warga Negara Indonesia sangat menyesalkan akan perbuatan-perbuatan tersebut. Uang Negara yang dihimpun dari rakyat dengan susah payah hanya habis karena disalahgunakan oleh para pelaku korupsi di negeri ini. Jika kita kembali membuka UUD 45 pasal 33 ayat 3 disana disebutkan bahwa bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan   digunakan untuk  sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berarti dengan adanya perbuatan korupsi ini jelas-jelas melanggar UUD 45 yang telah di buat dan dicita-citakan oleh para pendahulu kita.
Pengertian Korupsi
Sering kali kita terbiasa mendengar atau mengucapkan kata korupsi. Untuk mengetahui lebih detail apa yang dimaksud korupsi disini kita akan mencoba menampilkan pengertian tentang korupsi. Dari Wikipedia Maret 2010, Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari data kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.[1]
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
  • perbuatan melawan hukum;
  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
  • penggelapan dalam jabatan;
  • pemerasan dalam jabatan;
  • ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
  • menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Dampak Korupsi
Kegiatan korupsi jika dilakukan maka nantinya akan mengakibatkan dampak dan efek berantai yang akan berdampak luas. Dampak korupsi antara lain: Pertama dengan adanya korupsi jelas merugikan keuangan Negara yang akan semakin meningkatkan beban keuangan negara. Kedua angka kemiskinan tidak berkurang justru bertambah karena dana yang seharusnya dipergunakan untuk memakmurkan rakyat telah dikorupsi.
Ketiga, dengan terjadinya banyaknya kasus korupsi justru akan menggoyahkan para penegak hukum menjalankan fungsinya. Akhirnya para penegak hukumpun tergiring untuk melakukan pemakluman-pemakluman kasus-kasus korupsi dan banyak para koruptor yang bebas dari jeratan hukum.   Keempat semakin menjamurnya perlaku korupsi di tengah masyarakat karena dianggap itu sebagai hal bisaa bahkan menjadi budaya.
Kelima, adanya pandangan yang miring terhadap para penegak hukum.  Jika demikian maka masyarakat akan turun kepercayaannya terhadap penegak hukum.  Keenam, jika kepercayaan terhadap para penegak hokum lemah maka bukan mustahil kepercayaan terhadap lembaga-lembaga Negara bahkan negarapun akan semakin turun. Bukan hanya kepercayaan dari rakyat tapi juga mancanegara. Ketujuh, jika korupsi dibiarkan terus menrus maka nantinya ada kemalasan masyarakat untuk membayar pajak dan akhirnya Negara juga kesusahan mendapatkan pendapatan dari sector pajak.
Apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat
Hal yang perlu dilakukan untuk pencegahan korupsi anggaran Negara yaitu penguatan terhadap integritas, akuntabilitas dengan partisipatif akan berbagai program pemerintah oleh seluruh stakeholder terutama terkait dengan pelayanan publik. Baik itu oleh pemerintah, legislative, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, akademisi, media massa maupun masyarakat yang menjadi sasaran program tersebut.
Dalam UU No 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik disebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik itu terbuka. Pelayanan publik sendiri meliputi hal: 1. Pelayanan administrasi yang didalamnya ada kependudukan dan perijinan. 2. Penyediaan barang publik seperti perumahan rakyat, irigasi, transportasi dll. 3. Penyediaan jasa publik meliputi: pelayanan kesehatan, pemakaman, telekomunikasi, kebersihan, pendidikan, pemadam  kebakaran dll.
Hak masyarakat dalam pelayanan publik sendiri tercantum dalam pasal 18 UU/25/2009  tentang pelayanan publik. Antara lain:  Mengetahui isi standar pelayanan, Mengawasi pelaksanaan standar pelayanan. Mendapatkan tanggapan atas pengaduannya. Mendapatkan perlindungan dan pemenuhan pelayanan. Lapor kepada pimpinan penyelengaran jika ada pelayanan yang tidak sesuai Standar Pelayanan.
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik bisa dimulai sejak penyusunan standar pelayanan, evaluasi  pelayanan publik dan pemberian penghargaan.  Sedang peran serta masyarakat bisa juga diwujudkan  dalam bentuk kerja sama, pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, serta peran aktif dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik. Masyarakat juga dapat membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik.
Kran partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik dan pihak terkait yang dilibatkan partisipasi sendiri bersifat: Tidak diskriminatif, Mereka yang dilibatkan terkait langsung dengan jenis pelayanan. Mereka yang dilibatkan memiliki kompetensi, musyawarah dan memperhatikan keberagaman. Untuk itu mari kita bersama-sama mencegah korupsi dengan memanfaatkan hak-hak masyarakat dalam pelayanan publik seoptimal mungkin agar kesejahteranaan NKRI bisa terwujud.
Oleh: Sulatri
Pegiat Pattiro Surakarta

Kamis, 02 Januari 2014

Pemenuhan Hak Bidang Pendidikan Masih Harus Diperjuangkan



Oleh Sulatri, S.Sos

   
         Pendidikan di Indonesia mengalami perubahan besar terutama sejak adanya era reformasi dan otonomi daerah. Dahulu dunia pendidikan masih banyak menjadi wilayah pusat. Akan tetapi saat ini dunia pendidikan lebih banyak ditangan pemerintah daerah khususnya pemerintah kota atau kabupaten. Hal inilah yang menjadi perbedaan pencapaian pendidikan antara daerah dengan satu dengan yang lain sering terjadi perbedaan yang amat mencolok.
Sejak era reformasi dan otonomi daerah sekarang ini ada beberapa permasalahan yang cukup menonjol dalam dunia pendidikan. Pertama adalah dalam isu pembiayaan. Dalam isu pembiayaan ini ada beberapa permasalahan yang muncul antara lain: 1. Pendidikan mahal. 2. Perdebatan mengenai publik dan privat. 3. Desentralisasi pembiayaan-siapa (pemerintah ) yang menanggung. 4. Putus sekolah yang masih banyak kita jumpai ditengah masyarakat.
Sedangkan dalam kualitas pendidikan itu ada beberapa persoalan antara lain:   1. Standarisasi seperti UN (kerangka hukum baik nasional maupun lokal, jaminan segi pembiayaan). 2. Keterbatasan anggaran (fasilitas terbatas). 3. Jurang antara peraturan dengan realita.
Perlu kita ketahui bersama bahwa pendidikan merupakan salah satu hak yang cukup penting sebagai cita-cita pendirian negara ini dan dituangkan dalam UUD 45. Hal ini lebih diperkuat kembali dalam pasal 31 UUD 1945 amandemen ke-4 disyahkan oleh MPR tahun 2002. Disitu disebutkan bahwa : 1. Setiap  warga negara berhak mendapatkan pendidikan. 2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar  dan pemerintah wajib membiayainya. 3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak  mulia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. 4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan belanja negara dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. 5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
NKRI sebagai salah satu negara yang termasuk sebagai anggota PBB (Perseriakatan Bangsa-Bangsa)pun juga berkomitmen akan hak pendidikan dalam rangka pemenuhan HAM. Hal ini dipertegas dalam perjanjian hak  ekosob (ekonomi sosial budaya) yang ratifikasinya disyahkan lewat UU No 11 tahun 2005. yang telah disepakati bersama oleh PBB.
Hal-hal penting dalam ekosob:
  1. Adanya kewajiban untuk negara pihak ketiga-penandatangan kovenan untuk secara progresif merealisasikan berbagai hak yang termasuk  dalam ekosob.
  2. Adanya  cakupan yang jelas tentang apa saja yang harus dipenuhi dan bagaimana mengukurnya.
Dalam hak pendidikan diterangkan bahwa Negara wajib memenuhi komitmen EFA (Education For  All) setidaknya ditingkat dasar.  Untuk mewujudkanya butuh legislasi (UU, peraturan, instruksi, juknis).
Dalam hak ekosob dalam pendidikan ada beberapa hal penting yang harus diupayakan. Antara lain:
1.    Negara wajib menghormati (to respect)
2.    Negara wajib melindungi (to protec)
3.    Negara wajib memenuhi (to fulfil)
4.    Negara wajib mengembangkan (to promote)
Hal ini diperinci lagi dalam beberapa aspek pentinga hak ekosob dalam pendidikan. Yaitu:
1.    Ketersediaan (SDM, dana infrastruktur)
2.    Akses  (tidak diskriminasi)
3.    Keberterimaan (kelayakan  yang disajikan)
4.    Adaptibilitas (kemampuan menjawab tantangan zaman)
Namun ternyata banyak hal yang musti dibenahi dalam dunia pendidikan di negeri ini. Dalam fakta dan kondisi aktual pendidikan di Indonesia masih dijumpai beberpa permasalaha. Antara lain:
1.    Banyak sekolah rusak dan tidak layak pakai
2.    Rendahnya kualitas moral (baca: semangat dan motivasi) guru.
3.    Rendahnya capaian akademis siswa.
4.    Masih tingginya angka putus sekolah di banyak daerah.
5.    Masih banyaknya anak usia sekolah yang belum menikmati pendidikan formal.
Dari berbagai hal tersebut negara memegang peran penting untuk mencapai berbagai pelaksanaan hak ekosob.  Untuk itu seharusnya Negara harus  aktif  & pro aktif,  tidak boleh menyerahkan kepada masyarakat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut.
Untuk itu ada beberapa rekomendasi yang seharusnya dilakukan oleh negara. Antara lain yaitu:
1.    Kebijakan & anggaran seharusnya menuntaskan jurang yang ada antara kenyataan dan harapan.
2.    Harapan adalah pendidikan yang universal & berkualitas (hak ekosob).
3.    Anggaran sudah seharusnya  memastikan tidak ada lagi warga negara karena tidak ada fasilitas sekolah tidak bisa sekolah.
4.    Anggaran juga memastikan difabel & kelompok marginal bisa mengakses.
5.    Anggaran juga bisa menyentuh aspek kualitas.
6.    Adanya pendekatan pragmatik  dengan waktu & pencapaian yang terukur & sanksi yang bagi siapapun yang menghalangi.
7.    Perlunya sistem evaluasi & penilaian yang terukur bagi lembaga-lembaga pengelola pendidikan.


Makalah disampaikan dalam diskusi publik pimpinan Komisariat IMM FKIP UMS,
kamis, 2 Mei 2013 di Taman FKIP UMS



keterangan: Sumber dari Hasil Penelitian Pattiro 2007-2011
oleh : Sulatri, S.Sos
Pegiat LSM Pattiro (Pusat Telaah & Informasi Regional) Surakarta,
Aktif di MPPS (Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta)