Jumat, 30 April 2010

Mengugah Budaya Tulis di Dunia LSM


 Oleh Sulatri 


Saat ini tentu istilah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau NGO (non-governmental organization) sudah bukan hal yang baru di tengah masyarakat terutama yang tinggal di daerah perkotaan. Banyak sekali NGO-NGO yang tumbuh di negeri ini terutama sesudah tumbangnya orde baru.

Harus kita akui bahwa memang pada awalnya muncul LSM itu biasa diidentikan dengan lembaga yang kontra dengan pemerintah. walaupun, keduanya sama-sama bermaksud untuk berjuang untuk bisa mewarnai kebijakan public yang diharapkan bisa lebih membela kaum tertindas. Keduanya seakan duduk berlawanan. Seiring dengan perkembangan demokrasi di Indonesia keberadaan NGO memang juga dibutuhkan oleh pemerintah sebagai mitra kerja pemerintah untuk mengentaskan berbagai permasalahan kebijakan public.

Dunia LSM sendiri saat ini perkembangannya cukup cepat sekali. Jika pada awalnya LSM itu semata-mata hidup bisa dikatakan hanya mengadalkan dari donor. Sekarang LSM-LSM yang sudah maju juga mulai bergerak mencari peluang usaha-usaha mandiri agar institusi tersebut tidak gulung tikar ketika tidak ada funding yang mendanainya. Dan lembaga tersebut bisa tetap mengadvokasi masyarakat sesuai dengan spesifik bidangnya masing-masing.

Banyak sekali tokoh yang lahir dan pernah bergelut di dunia LSM kini bisa menduduki posisi-posisi strategis dalam dunia kebijakan public. Entah itu melalui partai, eksekutif, akademisi atau tempat-tempat yang lain. Tak heran jika LSM juga menjadi lirikan para aktifis untuk bisa aktif di institusi tersebut.

LSM dalam menjalankan berbagai programnya tidak lepas dengan adanya riset yang hasilnya cukup baik untuk dijadikan sebagai bahan masukan untuk kalangan eksekutif maupun legislative dalam mengambil kebijakan public. Riset atau penelitian sering dideskripsikan sebagai suatu proses investigasi yang dilakukan dengan aktif, tekun, dan sistimatik, yang bertujuan untuk menemukan, menginterpretasikan, dan merevisi fakta-fakta.

Penyelidikan intelektual ini menghasilkan suatu pengetahuan yang lebih mendalam mengenai suatu peristiwa, tingkah laku, teori, dan hukum, serta membuka peluang bagi penerapan praktis dari pengetahuan tersebut.

Istilah ini juga digunakan untuk menjelaskan suatu koleksi informasi menyeluruh mengenai suatu subyek tertentu, dan biasanya dihubungkan dengan hasil dari suatu ilmu atau metode ilmiah. Kata ini diserap dari kata bahasa Inggris research yang diturunkan dari bahasa Perancis yang memiliki arti harfiah "menyelidiki secara tuntas".

Tentunya amat disayangkan jika hasil reset yang begitu bagus sekali pada akhirnya hanya dibiarkan saja tidak dikelola dengan baik. Bahkan lebih mengenaskan hanya ditumpuk digudang yang penuh dengan debu dan akhirnya dimakan rayap.

Agar hasil riset itu bisa menarik setiap saat maka sebaiknya hasil tersebut diwujudkan dalam bentuk tulisan entah berita, artikel, lieflet atau buku yang mudah dibaca oleh masyarakat luas. Yang masih menjadi keperihatinan kita di dunia LSM adalah budaya menulis yang masih lemah. Jika kita bandingkan dengan budaya tulis di dunia akademisi sungguh jauh sekali. Padahal kita tahu bahwa riset-riset yang dilakukan oleh LSM itu tidak kalah menarik. Bahkan bisa jadi lebih menarik karena mereka bukan hanya berkutat pada literature tapi justru advokasi secara langsung ditengah masyarakat.

Dalam buku “Managing think thanks” karya Raymond J.Strunk yang diterjemahkan oleh Pattiro disebutkan bahwa lembaga think thanks (lembaga yang mempunyai kepedulian terhadap masalah kebijakan public) seperti LSM jika ingin maju itu perlu sekali mengkomunikasikan hasil riset yang telah mereka lakukan agar mudah dikases dan digunakan oleh masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan budaya tulis bisa lewat media massa. Biarpun bermula dari sedikit demi sedikit nanti akan menjadi bukit, niscaya tentu hasil tulisan kita akan bermanfaat bagi orang lain. Mari kita budayakan budaya tulis!!


  

Pentingnya Santri Terjun ke Masyarakat


Oleh Latri


Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi umat muslim. Rasulullah saw bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan”. Allah memberikan keutamaan dan kemuliaan bagi orang-orang yang berilmu dalam firman-Nya dalam Al-Qur`an surat Al-Mujaadilah ayat 11 : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. Orang-orang yang berilmu akan pula dimudahkan jalannya ke syurga oleh Allah dan senantiasa didoakan oleh para malaikat.

Salah satu tempat menimba ilmu pengetahuan adalah pondok pesantren. Pondok Pesantren (Ponpes) merupakan salah satu tempat yang digunakan oleh para santriwan dan santriwati untuk menuntut ilmu pengetahuan agama Islam. Pesantren di Indonesia biasanya lebih mengedepankan ilmu pengetahuan mengenai agama Islam meskipun sudah banyak pesantren yang juga mengelaborasikan antara pendidikan umum dan agama. Bahkan beberapa pesantren bukan hanya digunakan sebagai tempat belajar untuk masyarakat muslim saja akan tetapi juga masyarakat non muslim.

Sudah banyak nilai positif pesantren yang diketahui oleh masyarakat. Selain sebagai tempat belajar para santri di lingkungan pesantren (santri mondok), tak jarang para pimpinan pesantren (Kyai) juga sering berkiprah ikut membangun masyarakat di luar pesantren. Hal-hal yang dilakukan antara lain mengorganisir para jamaah sekitar pesantren untuk mengikuti mujahadah, pengajian, memperbaiki akhlakul karimah para jamaah dan sebagainya.

Para kyai dan keluarganya biasa melakukan dakwah lillahita’ala tanpa mengenal lelah dan tidak mengaharapkan imbalan dengan senang hati ikut berdakwah di tengah masyarakat. Mereka dengan kepiwaiannya menjadi seorang mobilisator umat untuk lebih mendekatkan diri pada sang kholiq. Dan sungguh luar biasa, jamaah yang datang ribuan berduyun-duyun dengan suka rela mendatangi kegiatan seperti pengajian untuk mendengar tawasiah dari seorang kyai.

Tentunya kita cukup gembira melihatnya, suatu lembaga pendidikan yang jatah APBD sedikit bahkan kadang tidak mendapatkan subsidi bisa terus melakukan fungsinya sebagai media pendidikan tanpa mengenal lelah. Banyak sekali tokoh yang lahir dari dunia pesantren. Misalkan saja KH Hasyim Muzadi, Gus Dur, Mahfud MD dan sebagainya.

Memang kebanyakan dunia pesantren Indonesia tidak mengedepankan sertifikasi lulusan santriwan/wati alumni ponpes tersebut. Hal ini dilakukan agar pesantren sebagai media belajar untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak menjadi media legalitas yang hanya bisa meluluskan para santri tapi ketika santri keluar pesantren tidak bisa memberi manfaat akan ilmu-ilmunya yang telah didapat di pesantren di tengah masayarakat. Sekali lagi kalangan pesantren lebih menjunjung bahwa mencari ilmu itu wajib bagi kaum muslim bukan untuk melahirkan seseorang yang takabur dengan ilmunya.

Hal yang perlu dibenahi

Selama ini dunia pesantren memang mempunyai aturan yang ketat kepada para santrinya khususnya untuk yang putri. Entah aturan itu dibuat keluarga kyai maupun para pengurus pesantren sendiri. Banyak sekali para santri yang hanya terkungkung atau enjoy tinggal di pesantren dan tidak mengetahui perkembangan di luar pesantren. Akibatnya sering terjadi gap (meski tidak kentara) antara santri dan masyarakat.

Para santri yang sudah mendalami berbagai ilmu pengetahuan keagamaan ketika keluar dari pesantren tidak bisa mewarnai tempat tinggal mereka dengan ilmu-ilmunya. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya pembelajaran mengenai ketrampilan para santri untuk bisa terjun di tengah masyarakat. Entah itu pelajaran mengenai cara berpidato, bertilawah, mengorganisir masyarakat, menjadi faslitator atau persoalan keorganisasaian lainnya.

Tidak heran jika para alumni pesantren tidak bisa berbuat apa-apa di tengah masyarakat. Ilmu yang sebenarnya bisa diberikan kepada orang lain hanya bisa dinikmati dia sendiri. Jika kondisi seperti ini dibiarkan terus-menerus maka dunia pesantren akan kesulitan mendapatkan para alumni yang bisa seperti Pak Kyai dan keluarganya bisa membangun masyarakat ala pesantren.

Untuk mengatasinya bisa dilakukan dengan praktik pembelajaran santri terjun  di masyarakat dalam waktu tertentu. Contohnya di perguruan Tinggi (PT) adalah terjunnya mahasiswa di tengah masyarakat yang biasa di sebut KKN (Kuliah Kerja Nyata). Dengan demikian akan ada kemudahan ketika melahirkan tokoh-tokoh masyarakat dari dunia pesantren.


Study Banding CBPS India di Pattiro Surakarta

soloraya.net, 26. Feb, 2010  

The Centre for Budget and Policy Studies atau CBPS merupakan salah satu NGO dari India yang concern dalam dunia kebijakan publik, Senin, (22/2/2010) melakukan studi banding di Pattiro Surakarta. Sebelum study banding di Pattiro Surakarta, CBPS juga melakukan pertemuan dengan Pemerintah Kota Surakarta yang ditemui Walikota Surakarta, Ir Joko Widodo, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Surakarta, Anung Indro Susanto, Kepala Seksi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Kota Surakarta, Budi Murtono di Rumah Dinas Walikota Surakarta, Lodji Gandrung.
CBPS mencoba menggali informasi tentang partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik dilihat dari sudut pandang Pemerintah Kota Surakarta. Dalam diskusi tersebut CBPS, mencoba mencari detail-detail informasi tata cara pengelolaan aset daerah, pengelolaan APBD, dan berbagai macam hal.
Pada saat melakukan kunjungan ke dinas-dinas di Balaikota Surakarta CBPS secara kebetulan juga bertemu dengan Ketua DPRD Surakarta YF Soekasno dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Dengan Ketua DPRD Solo CBPS juga mencoba menggali berbagai hal tentang partisipasi masyarakat di tingkat legislatif di Solo.

Diskusi di Pattiro Surakarta
Dalam study banding di Pattiro Surakarta CBPS melakukan diskusi yang diawali sambutan dari Direktur Pattiro Surakarta, Alif Basuki. Kegiatan diskusi berlangsung cukup ramai. Diskusi tersebut tidak hanya diikuti oleh pegiat Pattiro saja namun juga mengundang dari basis-basis yang didampingi oleh Pattiro seperti FKKB (Forum Komunikasi Keluarga Becak), FKKP (Forum Komunikasi Kader Posyandu), Forminsa (Forum silaturohmi banon-banon NU) dan LSM YKP (Yayasan Krida Paramita).
Selain dengar pendapat, dari diskusi tersebut secara sekilas CBPS menilai bahwa untuk mengusulkan suatu kegiatan katakanlah program dari masyarakat hingga turunnya anggaran itu di Indonesia khususnya Solo birokrasinya sangat panjang sekali. Masyarakat diminta untuk mengusulkan kegiatan tapi kegiatan itu disetujui atau tidak masih menjadi pertanyaan. Dan juga masih sulitnya masyarakat untuk mengontrol kegiatan itu sendiri.
Kemudian dana itu turun atau tidak, masyarakat juga tidak tahu. Bahkan ketika dana itu turun prosesnya cukup rumit. Kenyataan tersebut juga diiyakan oleh para peserta diskusi. Peserta diskusi memberikan applause ketika CBPS menceritakan tentang sistem kepala desa/kelurahan di India.
Di India di tingkat kelurahan/desa sudah bisa menentukan ADD dan membelanjakan sendiri. Sistem pemilihan kepala desa/kelurahan di pilih setiap 2,5 tahun oleh perwakilan dari masyarakat. Sedang panitianya dipilih setiap lima tahun sekali. Jadi biayanya lebih sedikit dibanding pemilihan langsung dan regenerasi kepemimpinan berlangsung lebih cepat.
oleh latri & Irfan

Senin, 05 April 2010

Bukit Menoreh




anak sungai Kedung Romo

Bukit Menoreh merupakan salah satu kawasan perbukitan yang melingkupi tiga kabupaten. yaitu Kabupaten Magelang, Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kulon Progo. Tempat tinggal orang tua penulis terletak di kaki bukit yang namanya Kedung Romo yang termasuk dusun Ponces. Di situ masih sedikit sekali jumlah rumah penduduk karena memang kebetulan dahulunya itu merupakan bulag yang merupakan pembatas tiga dusun yaitu dusun Ponces, Kedung Tawang dan Karang Rejo. Ketiga dusun tersebut merupakan bagian dari Desa Purwosari Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo DIY.


Hawanya yang sejuk dan situasi yang tenang dan alami membuat orang sering ingin menikmatinya. Apalagi Bukit Menoreh juga mempunyai beberapa tempat Wisata seperti Gua Kiskendo yang biasa di pakai abdi dalem kraton kala menyelenggarakan acara ritual Ngayojokarto Hadiningrat. Gua Seplawan yang masih alami di dalamnya terdapat suangai dibawah tanah. Kemudian Sendangsono yang merupakan tempat bersembahyang agama kristiani. Puncak Suroloyo yang merupakan salah satu puncak di perbukitan Menoreh yang biasanya ramai oleh para pendaki gunung kala merayakan tahun baru. 


Dikawasan bukit menoreh sendiri juga terdapat pemakaman Nyai Ageng Serang yang merupakan salah satu pejuang gerilya pada saat membantu perang Diponegoro. Buki Menoreh ini merupakan memang dulu tempat para pejuang gerilya untuk bersembunyi dari kompeni Belanda.

Bukan Aktifis Kalau Tidak Merokok!!!

Minggu, 18 Mei 2008
Sulatri
Di tengah ramainya pelaksanaan Muspimnas PB PMII, Desember 2006 di Pasuruan sempat ada keheranan pada diriku melihat banyak sahabat yang sebenar ia menjadi delegasi bisa masuk forum justru lebih memilih bergabung dengan forum diluar. Ketika kutanya apa sebabnya ternyata mereka bukannya tidak ingin masuk akan tetapi tidak kuat dengan iklim yang terjadi disana. Bukan iklim panas atau ramainya pembahasan dan perdebatan atau iklim politik yang terjadi ditengah forum, akan tetapi disebabkan oleh satu hal yang mungkin tidak banyak orang yang peduli terlebih para aktifis pergerakan yang biasa bergadang sampai malam. Apalagi kalau bukan soal rokok, satu sisi itu membuat para penikmatnya bagai disurga sedang disisi lain ada yang merasa bagai di “neraka” kadang orang tidak peduli.

Sempat ku mempertanyakan akan hal itu, apakah benar seperti itu yang terjadi di ruang forum? Tiada kusangka memang itu sungguh-sungguh yang terjadi diforum utama. Aula besar Hotel yang ber-AC dipenuhi dengan asap rokok yang sangat tebal dan menyesakkan nafas. Sungguh luar biasa pekatnya asap, panas dan sesaknya di ruangan oleh asap rokok saat itu. Baru lima belas menit didalamnya kumerasa sesaknya minta ampun. Betapa susah untuk narik nafas, belum bau yang entah ku tak tahu bagaimana mengambarkannya. Pantas saja banyak sahabat yang merasa keberatan disana dan lebih memilih diluar bisa ikut forum lainnya seperti forum diskusi yang diadakan PKC PMII Jawa Tengah misalnya. Atau mungkin justru lebih menyibukkan diri dengan jalan-jalan disekitar lokasi.

Itu hanya cerita sedikit tentang rokok di tengah kita. Memang masalah rokok sudah tidak menjadi rahasia lagi, disatu sisi ada yang menjadikan itu masalah tapi disisi lain justru menjadi kebutuhan “wajib” oleh sebagian orang di Indonesia. Di PMII sendiri para kader yang awal mulanya tidak merokok justru menjadi perokok berat setelah aktif di PMII. Sebenarnya tidak ada ada kurikulum apalagi materi merokok dalam organisasi. Tapi entah mengapa justru hal itu yang paling cepat ditindaklanjuti. Hal ini tidak terjadi pada saat ini saja akan tetapi sudah turun-temurun dari generasi ke generasi. Ini terlepas darimana dan bagaimana caranya mendapatkan rokok masing-masing individu. Ketika saya menanyakan pada salah seorang sahabat yang sepengetahuanku awalnya dia tidak merokok justru sekarang setelah aktif di PMII menjadi perokok, katanya tanpa panjang lebar“bukan aktifis kalau tidak merokok”.

Perbaikan Kinerja Legislatif

Minggu, 18 Mei 2008

Jika kita kembali mengingat tentang apa yang diinginkan dalam agenda reformasi tentu banyak pekerjaan rumah (PR) yang semestinya kita kerjakan. Salah satunya adalah penuntasan masalah korupsi. Sampai hari ini masih sangat banyak kasus korupsi yang belum tertangani. Belum tuntas pengusutan masalah korupsi di era orde baru ternyata saat ini yang kataanya sudah memasuki era reformasi masalah korupsi justru semakin bertambah dengan banyaknya kasus baru yang muncul. Para tokoh baru yang dulunya diharapkan bisa mengedepankan agenda reformasi justru malah jadi koruptor lebih parah daripada masa sebelumnya. Bahkan bukan hanya personal yang melakukan tapi tanpa malu-malu justru melakukan korupsi dengan berjamaah.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa pada kenyataanya dengan adanya reformasi banyak tokoh baru yang muncul. Satu sisi dengan adanya tokoh baru itu diharapkan bisa mendorong semangat untuk mengadakan berbagai perubahan yang memang diharapkan untuk kemajuan negara ini. Akan tetapi, disisi lain kita juga banyak menemui adanya ketidaksiapan tokoh baru tersebut untuk mengawal reformasi entah karena factor kapabilitas, kecakapan atau persoalan lainnya. Akibatnya banyak tokoh baru yang diharap-harapkan bisa menyelesaikan persoalan bangsa justru hanya sibuk mengurus dirinya sendiri. Bahkan justru semakin memperparah kondisi negara ini dengan berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh ulah mereka. Sebagai contoh adalah adanya korupsi berjamaah kalangan legislatif.

Korupsi berjamaah anggota legislatif dimasa reformasi yang baru banyak terungkap diakhir masa jabatannya tentu juga membuat persoalan baru. Bagi anggota legislatif sendiri menyisakan beban psikologis sendiri pada generasi sesudahnya. Para anggota legislatif yang dulu sebelum terpilih berniat untuk bertindak untuk menyuarakan rakyat menjadi takut bertidak bahkan pasif hingga tidak aneh lagi jika setelah mereka duduk di kursi legislatif justru hanya sibuk mengurusi keamaanannya sendiri agar tidak terancam. Hal ini tidak lepas dengan adanya ketakutan mereka jika nantinya kebijakan yang dikeluarkannya justru akan membuatnya masuk kepenjara paska mereka lengser dari jabatannya. Akhirnya yang terjadi bukan peningkatan kinerja legislatif akan tetapi justru adanya degradasi kinerja yang mereka lakukan. Maka tidak aneh kalau banyak yang bilang jika kinerja legislatif sekarang lebih buruk dari sebelumnya meski tidak semuanya.