Soloraya.net 2010
Seiring dengan banyaknya bermunculnya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) terutama setelah masa reformasi mau tidak mau para aktifis yang terjun di dunia LSM harus bersaing ketat untuk bisa mencari dana untuk bisa menjalankan berbagai programnya untuk advokasi ke tengah masyarakat. LSM yang dahulu masih dipandang sebelah mata kini juga menjadi incaran para lulusan kampus untuk mencari kerja. Yah…boleh dikatakan kerja di LSM kini juga mempunyai prestise yang dianggab bagus ditengah masyarakat.
Bukan hanya di tengah masyarakat LSM mendapat nilai plus, tetapi dikalangan penentu kebijakan public seperti ekskutif dan legislative juga senantiasa diajak sebagai mitra patner kerja untuk bisa berpartisipasi membangun bangsa ini. Terlepas nanti ada saling kritik dan koreksi dan sebagainya.
Kemudahan dalam mengakses dana dari donor sering dimanfaatkan oleh banyak orang untuk mendirikan LSM-LSM jadi-jadian untuk bisa mengakses dana tersebut. LSM jadi-jadian ini sering mengajukan proposal ke donor tapi pelaksanaan programnya dilapangan tidak jalan. Hal ini yang membuat citra LSM di masyarakat dan kalangan donor menjadi negative.
Akibatnya kepercayaan lembaga donor terhadap LSM menjadi merosot dan saat ini untuk bisa mendapatkan kucuran dana dari donor, LSM dituntut untuk lebih bisa memperbaiki berbagai hal baik di lembaganya sendiri maupun autput capain program yang dijalankan. Perekrutan personel yang masuk di LSM yang sembarangan juga bisa menjadikan pencitraan dan autput program LSM sendiri menjadi jelek.
Dalam salah satu rangkaian peluncuran buku “Akuntabilitas LSM : Politik, Prinsip & Inovasi” yang diterbitkan oleh Pokja OMS bekerjasama dengan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) di Hotel Agas Solo untuk LSM se-eks Karisidenan Surakarta beberapa waktu yang lalu. Rustam Ibrahim, Ketua Steering Committee Pokja OMS yang juga merupakan senior aktifis LSM yang menjadi salah satu pembicara acara tersebut menekankan agar LSM-LSM bisa segera memperbaiki citra LSM seperti pada awal munculnya LSM di Indonesia sebagai lembaga diluar pemerintah yang bisa terlibat aktif berpartisipasi dalam pembangunan untuk membela kaum terpinggirkan.
LSM harus bisa membenahi diri sebagai lembaga public yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan akan berbagai hasil kerja dan managemen lembaganya. Dalam acara tersebut banyak terlontar keresahan LSM-LSM akan permasalahan donor yang mulai susah di dapat. Tidak heran karena memang sebagian besar LSM di Indonesia ini hidupnya masih bergantung dengan donor. Hanya sedikit LSM yang sudah bisa hidup dengan mengandalkan dana dari pengelolaan kekayaan lembaga.
Untuk itu para peserta diskusi banyak yang mengusulkan agar LSM bisa mandari dan bisa mencari terobosan baru untuk mendapatkan dana agar lembaga tetap bisa mengadvokasi masyarakat dan terus berjalan meskipun tidak ada dari donor. Mereka juga mengakui bahwa dengan adanya donor LSM jadi geraknya lebih banyak tergantung donor dan banyak program lembaga yang tidak ada donornya jadi tidak berjalan.
Salah satu peserta dari LSM di Wonogiri bahkan mengusulkan agar para pegiat LSM itu yang direkrut itu berasal dari orang yang memang sudah mempunyai penghasilan yang mapan agar nanti ketika di LSM bisa lebih total untuk mengabdi untuk bangsa ini, “ Bukan hanya sibuk memperkaya dirinya lewat LSM”, tambahnya. Usulan tersebut mendapat tepuk tangan yang riuh dari para peserta.
Dengan kesadaran bersama para peserta mengusulkan agar LSM juga bisa mengakses dana dari APBN/APBD yang sebenarnya ada untuk kegiatan-kegiatan advokasi. Sayangnya dana-dana tersebut masih belum bisa diakses karena minimnya relasi LSM dengan penentu kebijakan. Akhirnya dana tersebut hanya bisa diakses oleh orang-orang atau LSM yang dekat dengan penguasa bahkan hanya LSM jadi-jadian buatan para pejabat. Sungguh amat di sayangkan.
Oleh: Sulatri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar