Policy Paper Bulan November 2013
Kajian
dan Rekomendasi Perbaikan Pelayanan Publik Sektor Pendidikan
MPPS
(Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta)
Pendidikan
Berkualitas adalah Hak Masyarakat
A. Latar
Belakang
Berbagai permasalahan berkaitan dengan
kebijakan publik tidak akan selesai hanya ditangani jajaran eksekutif, legislatif
maupun yudikatif. Untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik tidak lepas dari
unsur keterlibatan stakeholder yang
ada baik kalangan organisasi kemasyarakatan (ormas), pemilik modal, ormas sipil
maupun tokoh masyarakat.
MPPS merupakan salah satu jaringan
yang didirikan sebagai wujud kepedulian terhadap pendidikan di Soloraya yang juga
ingin berkontribusi pada negara melalui dunia pendidikan. Berbagai kegiatan pun
telah dilakukan MPPS dalam rangka ikut berpartisipasi membangun dan mendorong
pelaksanaan pendidikan agar lebih baik.
Dengan lahirnya Undang-undang No 25
tahun 2009 tentang Pelayanan Publik di Indonesia semakin membuka ruang-ruang
partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik agar semakin
baik. Masyarakat berhak untuk berpartisiasi dalam perencanaan, pelaksanaan
maupun monitoring dan evaluasi dalam pelayanan publik. Tentu ini semakin
memompa semangat MPPS untuk bisa berjuang dalam pendidikan untuk masyarakat.
Pada 2013 ini MPPS banyak melakukan
diskusi rutin dan juga advokasi di dunia pendidikan terhadap berbagai kasus
yang masuk dalam pengaduan MPPS. Selama ini di tengah masyarakat banyak
dijumpai berbagai macam keluhan akan dunia pendidikan khususnya untuk
pendidikan dasar dan menengah. Akan tetapi berbagai persoalan tersebut amat
disayangkan jika hanya menjadi rahasia umum yang tidak ada pemecahannya.
Sayangnya, meskipun sudah banyak kotak
pengaduan ternyata banyak masyarakat yang tidak memanfaatkannya. Meskipun kotak
pengaduan itu kosong bukan berarti tidak ada permasalahan dalam dunia
pendidikan. Masyarakat memang tidak berani mengungkapkan permasalahannya. Akan
tetapi banyak juga masyarakat yang lebih memilih menyampaikan pengaduannya
kepada LSM, media massa atau ke walikota. Akan tetapi itu masih bisa dihitung,
masih banyak masyarakat yang hanya diam saja meskipun mereka juga mengeluh.
Untuk itu MPPS bermaksud menyebarkan
formulir pengaduan dalam rangka menjadi media jembatan masyarakat dan stakeholder terkait. Hal ini dimaksudkan
agar permasalahan dalam dunia pendidikan segera ada pemecahan. Dan, lebih utama
lagi cita-cita berdirinya negara ini bisa tercapai. Akan tetapi disadari bahwa
MPPS tidak akan memecahkan permasalahan pengaduan kasus demi kasus tetapi lebih
utama adalah memberikan masukan terkait kebijakan yang dibuat pemerintah dalam
dunia pendidikan.
Agar proses pengaduan ini bisa lebih
tertata dan sampai ke pemangku kebijakan yang terkait untuk bisa melakukan
perbaikan maka MPPS mencoba mendesain dalam bentuk formulir dan mempersilakan
masyarakat menyampaikan unek-unek atau mengadu melalui MPPS sebagaimana telah
dipersiapkan di lembaga-lembaga anggota MPPS yang dijadikan posko-posko
pengaduan MPPS maupun melalui pegiat-pegiat MPPS yang tersebar di berbagai
wilayah.
Adanya pengaduan ini juga kami
sosialisasikan ke media massa agar makin banyak warga masyarakat yang
memanfaatkan posko pengaduan. Hal ini sebagai upaya untuk memfasilitasi
pengaduan warga masyarakat yang kadang ada yang tidak berani mengadukan
institusi terkait karena takut mengalami intimidasi dan sebagainya
- Potret Pelayanan Pendidikan Kota Surakarta.
Dalam memfasilitasi pengaduan dari
masyarakat, MPPS membuka posko pengaduan dengan menampung pengaduan dalam
bentuk pengisian form maupun langsung ke pegiat atau melalui media lainnya. Dalam
formulir pengaduan ini kami buat dalam beberapa versi. Ada berupa form yang
cukup bentuk pengaduannya dengan mencentang dan mengisi pertanyaan serta manambah
uraian tapi sedikit. Dan, ada juga yang memberi keleluasaan pengadu untuk
menjelaskan panjang lebar dengan mengungkapkan permasalahan, kronologis dan
berbagai bukti untuk mempermudah
menyelesaikan kasus tersebut.
Form ini kami sediakan untuk orang tua
atau anak sekolah dari tingkat SD sampai SMA/SMK yang anaknya sekolah di Kota
Surakarta. Kalau form yang berwujud
pertanyaan-pertanyaan kami mencoba mengambil dari form yang disediakan oleh
ombudsmen tapi kita kembangkan sendiri untuk makin mempermudah mendetailkan
persoalan di dunia pendidikan.
1. Responden
Dalam formulir pengaduan yang diterima
di MPPS sejak bulan Mei–November 2013 ini ada 44 warga yang melakukan
pengaduan. Warga yang mengadu kebanyakan berjenis kelamin laki-laki 86%,
sedangkan sisanya 14% oleh perempuan. Di sini kami melihat bahwa yang lebih
berani mengadu itu masih didominasi oleh laki-laki. Sedang dari kategorisasi usia pengadu lebih
banyak usia 31-40 tahun ada 49% dan di bawahnya ada usia 51 tahun ke atas ada
21%. Sedang kategori usia 20 tahun ke bawah tidak ada yang mengadu.
2. Biaya
Dilihat
dari pembiayaan ternyata hal yang paling memberatkan masyarakat adalah biaya
studi tour yang jumlahnya 30%, diikuti sumbangan sukarela 27%, SPP dan
sumbangan wajib berjumlah sama 18%, dan yang paling bawah adalah pembiayaan
buku-buku 7%.
3. Persoalan
Administrasi
Kebanyakan responden menyatakan tak
mengalami permasalahan adiministrasi. Yang tidak mengalami permasalahan ada 68%
dan yang mengalami permasalahan ada 32%. Adapun yang mengalami permasalahan dalam
administrasi menjelaskan adanya pembayaran tanpa kwitansi. Adanya permasalahan
administrasi dalam proses penerimaan murid. Adanya pungutan uang pembangunan maupun
uang gedung sebagai syarat administrasi. Dan juga melakukan pungutan terhadap
orangtua/murid sekolah terkait kelengkapan administrasi.
4. BOSP
Ditanya mengenai pengetahuan tentang
BOSP (Biaya Operasional Satuan Pendidikan) Surakarta baik tingkat SD-SMA/SMK
kebanyakan masyarakat tidak tahu. Yang tidak tahu sebanyak 71% dan yang tahu
hanya 29%. Maka, tidak heran ketika ditanya seberapa besar perbandingan SPP dan
BOSP, banyak yang menjawab tidak tahu 63%, SPP lebih besar dari BOSP ada 18%,
SPP sama dengan BOSP ada 12% dan SPP lebih kecil dari BOSP ada 7%.
5. Uang
Gedung
Ditanya mengenai keberadaan uang
gedung, responden yang menjawab ada uang gedung 61% dan yang tidak ada hanya 29%.
Adapun jumlah uang gedung itu juga bermacam-macam bahkan ada yang menyebut
sumbangan sukarela tapi kenapa ditentukan jumlah dan waktunya. Apa ini bukan
pungutan? Adapun besarnya berbeda-beda, ada yang Rp 250.000, Rp 300.000, Rp 1.000.000,
Rp 1.200.000, Rp 1.500.000, Rp 2 juta, bahkan ada yang sampai Rp 3.200.000.
Tapi ada yang mengisi negosiasi dengan sekolah. Biarpun jumlahnya berbeda-beda
tapi pengadu keberatan dengan adanya tarikan ini.
6. Pelayanan Petugas
Berkaitan
dengan keluhan pelayanan petugas itu paling banyak ditemui di tenaga pengajar
sebesar 50%, petugas administrasi pendidikan 30% dan birokrasi pendidikan
sebesar 20%.
7. Persoalan Fasilitas
Pendidikan
Berkaitan
dengan persoalan fasilitas pendidikan yang banyak diadukan masyarakat adalah
transportasi ke sekolah 44%, gedung sekolah 30% dan sarana prasarana sekolah
ada 26%. Dalam keterangannya berkaitan
fasilitas pendidikan responden ada yang mengisi buku-buku pelajaran untuk dipinjamkan
terbatas di perpustakaan, Sekolah dianggap kurang menarik dan kurang bersih.
8. Prosedur
Pendidikan
Berkaitan
dengan prosedur pendidikan banyak pengadu yang menyatakan tidak mempunyai masalah.
Adapun yang bermasalah 35% dan 65% yang menyatakan tidak mengalami permasalahan
dalam prosedur pendidikan. Dalam keterangannya yang bermasalah ada yang
menuliskan tidak tahu apa-apa tahu-tahu disuruh bayar. Dan kurikulum yang tidak
tepat serta kurang sempurna.
9. Permasalahan
Menempuh Pendidikan
Biarpun
berbagai persoalan ditemui masyarakat dalam mengakses hak untuk mendapatkan
pendidikan tapi secara umum dalam garis besarnya masyarakat menyatakan tidak
bermasalah menempuh pendidikan. Ada 35% yang menyatakan mengalami permasalahan
menempuh pendidikan dan ada 65% yang menyatakan tidak bermasalah. Yang
bermasalah menempuh pendidikan ada yang menambahkan catatan masih tingginya
biaya pendidikan. Dan, kurang sarana dan prasarana serta perpustakaan kurang
lengkap di sekolah.
10. Pelibatan Penyusunan
Kebijakan
Sebagian
besar responden menjawab tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan
kebijakan oleh sekolah. Ada 62% yang menyatakan tidak pernah. Dan ada 38%
menyatakan pernah dilibatkan. Dalam keterangannya ada yang menuliskan bahwa
dalam pelibatan penyusunan kebijakan sekolah ada
yang menulis baik atau cukup kebijakan sekolah dibuat oleh sekolah, sedangkan
komite sekolah tinggal baca di hadapan wali murid.
Sekolah harus transparan
agar tidak membingungkan. Ada yang juga menulis sekolah tidak bijak. Sekolah
perlu mendisiplinkan murid. Sekolah mohon bebas uang SPP. Pendidikan diharapkan
tidak dipungut biaya kecuali seragam dan buku. Kebijakan pendidikan tidak harus
mengikat. Kebijakan kadang masih bisa tawar-menawar. Kebijakan sayangnya tidak
pernah melibatkan orangtua murid. Sekolah sering tidak melanjutkan hasil rapat
dan sekolah kadang mengambil keputusan sendiri. Bahkan, sekolah masih
berorientasi komersial dan memberatkan orangtua murid.
11. Tanggapan Terhadap Kurikulum
Saat Ini
Penilaian kurikulum saat
ini (Kurikulum 2013) ada responden yang menanggapi dengan menuliskan sudah bagus
dan mengalami kemajuan, sudah baik. Kemampuan anak menyerap informasi sangat
kuat jadi bila kurikulum mencakup banyak materi malah lebih baik.
Kurikulum 2013 dinilai minim
sosialisasi. Sekolah yang diberi mandat melakukan seleksi siswa tidak baik dalam
melaksanakannya. Responden menilai ada sistem penawaran penilaian siswa agar
siswa tidak menjadi korban kurikulum sehingga susah meraih yang dicita-citakan
dalam memilih jurusan dan mengalami depresi.
Di samping itu ada juga
yang menuliskan bahwa kurikulum saat ini memberatkan siswa dan tidak ada sopan
santun. Agak sedikit sulit bagi siswa baru dalam tahap permulaan. Kurang baik dan
masih membingungkan. Harus disempurnakan. Kurang tepat karena belum mampu
mendidik anak bangsa yang beretika dan cinta negara. Sebagian menjawab tidak
tahu karena tidak ada sosialisasi. Tapi ada juga yang menuliskan tidak paham.
Tempat Mengadu Pendidikan
Selama
ini tempat mengadu responden kebanyakan di sekolah yang jumlahnya mencapai 54%.
Posisi kedua komite sekolah sebanyak 22%, Disdikpora 8%, Dewan Pendidikan 7%,
sedangkan media massa, LSM, DPRD, keluarga atau masyarakat masing-masing 2%.
Sedangkan posisi terendah pengaduan melalui jejaring sosial hanya 1%.
- Rekomendasi
1. Terkait biaya pendidikan seperti untuk
studi tour, sumbangan sukarela, SPP, demikian juga SPS maupun sumbangan wajib lainnya
dan juga untuk buku-buku yang mesti dibeli karena diberlakukan di sekolah,
mohon ditinjau ulang aturan maupun kebijakan yang ada dan mohon dilakukan
pengawasan agar pungutan maupun sumbangan tidak memberatkan masyarakat.
Lebih-lebih sumbangan mestinya bersifat sukareka sesuai kemampuan mereka yang
akan menyumbang.
2. Berkaitan dengan syarat administrasi
pendidikan, mohon tidak dicampuradukkan dengan pembiayaan pendidikan karena
siswa berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas dari negara, tanpa melihat
dirinya sudah menyelesaikan urusan pembiayaan ataukah belum.
3. Persoalan ketidaktahuan akan berapa
besarnya BOSP oleh orangtua murid atau masyarakat sering dimanfaatkan sekolah untuk
menarik SPP lebih tinggi dari BOSP di Kota Surakarta. Untuk itu maka harus ada
sosialisasi akan besarnya BOSP yang berlaku di kota ini lebih gencar kepada
masyarakat agar masyarakat juga bisa ikut mengawasi kebijakan penarikan SPP di
sekolah-sekolah.
4. Terkait penarikan uang gedung maupun SPS
oleh sekolah mohon ditinjau ulang karena banyak yang meresahkan dan memberatkan
masyarakat. Apalagi dengan ditemuinya sekolah yang menyamaratakan beban orangtua
yang mampu dan tidak mampu. Maka, untuk itu perlu kejelasan pengertian dan implementasi antara sumbangan dan pungutan. Yang
namanya sumbangan seharusnya tidak mengikat baik jumlah maupun waktunya. Sasaran
mestinya bukan selalu orangtua murid, tapi praktiknya yang ditargetkan jadi sasaran
adalah orangtua murid. Kalau sudah ditentukan jumlah maupun waktu itu berarti
pungutan. Jika berkeinginan Solo bisa menerapkan wajib belajar 12 tahun, tampaknya
masih sangat jauh untuk bisa direalisasikan karena faktanya masih banyak
biaya-biaya yang ditarik dari masyarakat.
5. Terkait kurikulum 2013 mohon koreksi
dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai kurikulum tersebut. Kurikulum sudah
diberlakukan tapi masih membingungkan. Jadi terkesan mengejar proyek (nilai
besar)-penerbit tertentu yang ditunjuk, sifatnya politis (ada indikasi
ketidakberesan di Kemendikbud-pembengkakan anggaran). Perangkatnya belum siap
(eks pelatihan baru dilakukan–sifatnya dadakan-belum semua). Sementara pelatihan
materi kurikulum 2013 di tingkat daerah belum ada. Maka, hal itu harus
disiapkan sebelumnya dengan baik agar kurikulum tidak menjadi masalah dan
anak-anak yang justru menjadi korban kurikulum.
6. Bagi para petugas pelayanan
pendidikan, mohon dalam menunaikan tugas yang menjadi tanggung jawab mestinya dilakukan
sebaik-baiknya, jangan sampai terjadi kekecewaan bagi warga masyarakat yang
mestinya dilayani. Lebih-lebih bagi pendidik yang sudah mendapatkan tunjangan
sertifikasi, mestinya tunjangan sertifikasi itu bukan hanya untuk kesejahteraan
pribadi tapi untuk meningkatkan kualitas layanan, meningkatkan profesionalisme.
Perlu diingat bahwa dalam dunia pendidikan itu yang diutamakan adalah bukan the best input melainkan the best process, sehingga akan
menghasilkan out put yang baik (the best out put).
7. Masyarakat diberi kebebasan memilih
dan melakukan pengaduan pendidikan di mana pun yang dirasa nyaman. Jangan ada
intimidasi bagi masyarakat yang mengadu di luar sekolah atau Disdikpora.
Sekian
& terima kasih
------ooo0O0ooo------
Policy
Paper ini ditulis oleh Sulatri & Adi Cahyo, editor Pardoyo
dan
disusun bersama Pegiat Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta (MPPS) sebagai
upaya partisipasi dalam peningkatan kualitas pelayanan pendidikan
di Surakarta.
Disampaikan dalam Audiensi MPPS ke Disdikpora Surakarta (15/11/13)
Sekretariat Bersama MPPS: Kantor Pattiro Surakarta
Sidodadi RT 5 RW I
Pajang Laweyan Surakarta 57146 Telp/Fax. 0271-732030
Contact
Person : Adi Cahyo / 0812260543