Sudah banyak kita mendengar berbagai keluhan dari masyarakat tentang berbagai permasalahan pendidikan terutama hal yang berkaitan dengan biaya pendidikan. Entah itu biaya pendidikan untuk wajib belajar sembilan tahun, SMA/SMK hingga perguruan tinggi. Permasalahan mahalnya biaya pendidikan ini tidak hanya dikeluhkan orang tua yang anaknya duduk dibangku pendidikan dari institusi pendidikan yang dikelola swasta tapi juga institusi yang berstatus negeri.
Berbagai keluhan masyarakat itu bagaikan santapan rutin sehari-hari yang dianggap biasa. Saking biasanya sehingga kadang membuat masyarakat jenuh untuk bisa berpartisipasi untuk turut serta mencari solusinnya seperti apa. Meskipun orang tua keberatan dengan berbagai pungutan dari sekolah tapi mereka juga terpaksa membayarnya meskipun mereka keberatan karena keluhan mereka kurang direspon dengan baik.
Sementara pihak sekolah dengan santai menjawab bahwa berbagai pungutan itu sudah disetujui oleh orang tua murid melalui rapat dengan orang tua murid. Jadi ya sah-sah saja menarik dari orang tua siswa karena sudah setuju. Yaah…meskipun dari Walikota Ir Joko Widodo melarang pungutan-pungutan kepada orang tua murid ternyata itu sebatas himbauan. Tetapi realitasnya dilapngan tidak mengubah sekolah-sekolah yang memberlakukan pungutan-pungutan dengan berbagai sebutan kepada siswa tanpa pandang bulu orang tuanya mampu atau tidak.
Sungguh amat sangat disayangkan, orang tua murid yang datang rapat ke sekolah dijadikan alat legitimasi sekolah dalam mengesahkan (Rencana Angaran Belanja Sekolah) termasuk RAPBS-nya yang sudah dibuat rigit oleh pihak sekolah bersama komite sekolah. Hak mereka untuk ikut berpartisipasi didalam forum kurang bisa mewarnai kebijakan yang disodorkan oleh sekolah. Hal ini dikarenakan orang tua murid tidak paham persoalan, tidak berani bicara atau sangat sedikitnya waktu yang disediakan. Akhirnya yang terjadi pungutan-pungutan yang dilakukan sekolah digedok dengan mulusnya.
Dalam buku panduan BOS yang dilatarbelakangi oleh Permendiknas No 37 tahun 2010 sebenarnya disana menyebutkan bahwa sekolah yang menjadi penerima dana BOS itu tidak diperbolehkan memungut dana dari orang tua siswa kecuali RSBI atau SBI. Tapi fakta dilapangan memperlihatkan hampir semua sekolah meskinpun itu bukan RSBI atau SBI tetap memungut dana dari orang tua murid.
Kalau dilihat dari nominal alokasi yang diberikan untuk pendidikan Kota Surakarta itu sebenarnya sudah sangat besar. Dalam APBD 2011 Kota Surakarta anggaran pendidikan bahkan sudah mencapai 30% lebih dari total belanja APBD yang jumlahnya Rp 434.882.217.00 yang terdiri dari Belanja langsung Rp 32.361.131.00 dan Belanja Tidak Langsung Rp 378.107.087.00. Itu masih ditambah dari dana APBD Provinsi, dana dari APBN dan juga dana BOS. Belum ditambah pungutan-pungutan sekolah dari orang tua siswa. Ironisnya mengapa dana sebesar itu belum juga bisa menuntaskan permasalahan dana pendidikan. Ada apa disana, apakah dana yang seharusnya untuk operasi sekolah masih banyak dipakai untuk kesejahteraan guru meskipun itu sudah PNS? Atau terjadi ketidakjujuran sekolah dalam mengimplementasikan dana yang lainya?
Dalam penelitian BOS (Biaya Operasional Sekolah) Pusat Telaah & Informasi Regional (Pattiro) Surakarta pada bulan Maret – Mei 2011 di Solo memperlihatkan sebenarnya banyak masyarakat yang mempertanyakan dana-dana yang didapat sekolah. Jumlahnya seberapa, digunakan untuk apa saja dan pertanggungjawabnya seperti apa? Mereka juga keberatan dengan pungutan-pungutan yang ada di sekolah. Masyarakatpun lebih suka mengadu langsung ke pihak luar sekolah seperti ke Pemerintah Kota, Dewan Pendidikan, LSM maupun surat kabar. Hal itu mereka lakukan karena kawatir jika mengadu kesekolah anaknya diintimidasi dan juga ada asumsi bahwa sekolah tidak menindaklanjuti pengaduan mereka.
Ketika Pattiro mencoba turun kebeberapa sekolah hampir semuanya belum memasang tentang anggaran sekolah. Padahal sekolah penerima dana BOS diwajibkan untuk memasang pengumuman tentang anggaran sekolah di tepat pengumuman. Orang tua siswapun ketika ditanya apakah mereka mendapatkan selebaran pengumuman RAPBS banyak yang menjawab tidak mendapatkan. Sementara jika masyarakat meminta data itu juga tidak mengaku tidak diperbolehkan kecuali komite Sekolah.
Pihak Disdikpora mengakui bahwa memang di Solo, sekolah tidak menyampaikan RAPBS dan LPJnya ke Disdikpora terhadap dana-dana yang didapat sekolah diluar dana yang melalui Disdikpora seperti dana yang bersumber dari pungutan orang tua murid. “Jangankan masyarakat umum kami yang dari Disdikporapun tidak tahu”, jelas Sugiarso, pegawai Disdikpora Surakarta yang mengurusi Dana BOS saat Pattiro melakukan audiensi ke Disdikpora. Dari sini kita bisa sedikit melihat memang belum ada ketransparanan penggunaan anggaran pendidikan oleh sekolah. Maka wajar jika masyarakat mempertanyakannya.
Menurut UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sekolah merupakan salah satu badan public dimana masyarakat juga berhak mengetahui informasi institusi tersebut. Untuk itu sekolah juga harus segera menyiapkan diri untuk bisa lebih terbuka dalam permasalahan informasi yang berhak diakses oleh masyarakat termasuk dalam hal anggaran pendidikan yang dikelolanya. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat juga bisa terlibat aktif berpartisipasi dalam dunia pendidikan. Harapannya berbagai dana yang didapat oleh sekolah benar-benar bisa digunakan sebagai mestinya. Dan masyarakatpun bisa terlibat aktif ikut berpartisipasi dan memonitoring penggunaan anggaran tersebut.
Oleh: Sulatri