Senin, 12 Juli 2010

Pilkada Solo Bukan Semata-mata Ditentukan oleh Uang

Beberapa waktu yang lalu beberapa media memberitakan adanya keluhan dari Panita Pengawas Pemilu (Panwas) Kota Solo yang frustrasi dengan anggaran Pilkada April 2010 yang dinilai terlalu kecil. Anggaran Pilkada Solo 2010 hanya Rp 456 juta dikatakan lebih jauh dari besarnya anggaran Pilkada 2005 yang jumlahnya mencapai RP 700 juta.
Kita sebagai masyarakat biasa tentunya melihat jumlah uang seperti itu sudah cukup amat besar jumlahnya. Apalagi jika untuk memenuhi kehidupan keluarga yang sederhana. Terkait dengan penggunaannya untuk pilkada tentu masyarakat tidak semua turut ambil pusing memikirkan penggunaannya. Apakah anggaran tersebut sudah bisa mencukupi untuk kegiatan pilkada atau belum.
Yang menjadi harapan masyarakat bahwa pasangan walikota yang terpilih bisa bekerja lebih baik dari sebelumnya. Bisa memajukan Kota Solo pada umumnya dan turut menyumbangkan kesejahteraan masyarakat pada khususnya. Memang tanpa uang kita tidak bisa apa-apa, tapi jangan jadikan uang penentu segalanya, terlebih hasil Pilkada.
Soal anggaran yang dinilai Panwas terlalu kecil KPU diharapkan bisa mengguanakan anggaran tersebut dengan se-efisien mungkin dan tepat sasaran. Kita berharap bahwa Pilkada Solo kali ini bukan dijadikan sebagai ajang korupsi baru di daerah. Seperti yang diungkapkan Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Fahmi, Kamis (7/1/2010). Jangan sampai kecurangan-kecurangan seperti penggunaan anggaran publik dalam Pemilu 2009 justru terulang kembali di daerah seperti Solo.
KPU Kota Surakarta telah menetapkan Surat Keputusan tentang Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Surakarta No 1 Tahun 2009 tentang, Tahapan,Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Wali Kota dan Wakil Wali kota tahun 2010. Untuk pemungutan suara dilangsungkan, 26 April 2010. Untuk pelaksanaan kampanye calon kepala daerah direncanakan 9-22 April 2010.
Waktu tersebut tentu sudah tidak lama lagi. Kita berharap bahwa pilkada sebagai ajang demokrasi untuk menentukan pemimpin bisa berjalan dengan baik. Jangan hanya semata-mata mengandalkan uang untuk menghasilkan seorang pemimpin yang sanggup mengemban amanah rakyat. Pelaksana ajang Pilkada diharapkan benar-benar mampu memilah-milah mana pengeluaran yang diperlukan dan mana yang bisa diminimalisir. Ingat diluar sana masih banyak masyarakat yang membutuhkan anggaran publik untuk bisa menyambung hidupnya.

Oleh: Sulatri
Pegiat Pattiro Surakarta

Refleksi 12 Tahun Reformasi: Mahasiswa Sibuk Bermain Facebook

Adanya berbagai kemajuan teknologi dan berbagai fasilitas yang ada di kampus ternyata saat ini tidak mendorong mahasiswa untuk aktif menjadi agent of change (agen perubahan) di negeri ini. Hal ini sangat disesalkan oleh banyak pihak terutama para mantan aktifis mahasiswa entah itu tahun 80-an, 90-an yang banyak duduk di NGO (Non Government Organization), partai dan lain sebagainya.

Haris Rusly, eksponen mahasiswa 1998 yang dahulu kuliah di UGM dalam diskusi refleksi 12 tahun reformasi di LPH YAPHI, (19/5/10) mempertanyakan kenapa berbagai fasililitas di kampus dan kemajuan teknologi yang ada tidak dimanfaatkan dengan baik untuk memperjuangkan bangsa. Misalkan saja adanya hotspot internet di kampus justru malah menjadi arena bermain Facebook.

Fasilitas perpustakaan yang saat ini banyak menyajikan berbagai produk buku yang di era orde baru dilarang dan katakanlah untuk membacanya saja harus sembunyi-sembunyi kini semakin sedikit mahasiswa yang memanfaatkannya. Alat transportasi yang semakin mudah tidak menjadikan mahasiswa semakin aktif di organisasi. Baik organisasi internal kampus maupun eksternal kampus.

Status mahasiswa yang masih ‘wah‘ di tengah masyarakat kita yang diharapkan jadi salah satu eksponen yang bisa mengkritisi kebijakan agar lebih baik kadang berlalu begitu saja tanpa ada hasil yang bisa kita acungi jempol. Kita bukannya menyalahkan adanya perubahan dengan berbagai kemajuan yang terjadi, tapi bagaimana mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat yang lainnya bisa bersatu bergerak membawa negeri ini agar lebih baik.

Kita tahu bahwa biaya pendidikan yang ada di Indonesia itu masih dikatakan cukup mahal. Meskipun dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sudah ditetapkan anggaran pendidikan itu sebesar 20% akan tetapi dalam realitasnya masih jauh dari apa yang kita harapkan. Masih banyak pungutan biaya disana-sini dan ketika dana seharusnya sudah dicairkan ternyata juga terjadi pemotongan. Urusan birokrasi yang berbelit juga semakin menyulitkan masyarakat ketika akan mengakses dana tersebut.

ilustrasi : Kompas Images

Adanya berbagai kebijakan yang tidak berpihak terhadap rakyat miskin berjalan dengan santainya tanpa ada perhatian dari mahasiswa. Misalkan saja adanya dana SPP yang dibebankan kepada mahasiswa di kampus, mahasiswa tidak bisa mengakses dana tersebut dengan baik. Hal ini sebenarnya menjadi permasalahan tersendiri bagi mahasiswa terutama mahasiswa yang aktif di organisasi.

Rusly mempertanyakan ”Kenapa ketika mahasiswa dibebani biaya berat dan berbagai kebijakan yang merugikan mahasiswa mereka hanya diam saja? Silahkan kritisi berbagai kebijakan yang ada di kampus, syukur kebijakan yang ada di daerah sekitar kampus. Lebih bagus lagi kritisi kebijakan yang ada di negeri ini! Tunjukkanlah bahwa mahasiswa itu merupakan agent of change, pembawa pembaharuan, penerus generasi bangsa ini agar lebih baik”.

Perspektif Aktifis Mahasiswa Saat Ini

Sementara Ajie Najmudin, salah seorang aktivis PMII Solo juga menyatakan bahwa pandangan tersebut ada benarnya. Memang berbagai fasilitas yang ada di kampus itu bisa dikatakan juga bisa menjadi media yang cukup bagus ketika kita manfaatkan dengan baik. Tapi memang mahasiswa banyak yang menjadi terlena dan dimabukkan dengan fasilitas yang ada di kampus dan cuek terhadap berbagai persoalan bangsa yang sebenarnya bisa mereka perjuangkan. ”Yah…terserahlah apa kata mantan aktivis mahasiswa di atas kami”, Ujar Ajie.

Menurut Ajie, mereka masih mengalami banyak kesusahan untuk terus aktif dan bisa menyikapi berbagai kebijakan yang ada baik di kampus, daerah maupun nasional. Biaya kuliah yang kami tanggung saat ini itu juga menjadi salah satu faktor yang kami hadapi. Belum biaya untuk aktif di organisasi ekstra kampus yang membutuhkan mobilitas yang cukup tinggi. Para aktifis mahasiswa saat ini juga kesusahan ketika akan mencari kader untuk melanjutkan roda organisasi terutama organisasi ekstra kampus. ”Kami seperti bukan mahasiswa kampus saja ketika mencoba memanfaatkan fasilitas yang ada di kampus. Berbagai beban biaya kuliah yang kami tanggung tidak bisa kami ambil dan maanfaatkan jika dengan mengatasnamakan organisasi ekstra kampus”, keluh Ajie.

Keluhan serupa bukan hanya dirasakan oleh organisasi ekstra semacam PMII saja namun juga berbagai organisasi ekstra lainnya seperti HMI, LMND, PMKRI, GMNI, GMKI, KAMMI dan sebagainya. Mahasiswa sangat kesusahan ketika akan memanfaatkan fasilitas yang ada di kampus untuk kegiatan organisasi mereka.

“Kenapa ketika mahasiswa aktif kuliah dan aktif berorganisasi kita kesusahan mendapatkan fasilitas kampus, tapi giliran mahasiswa tersebut sudah menjadi alumni yang berhasil baru dirangkul-rangkul dan dibanggakan sebagai alumni universitas tersebut. Padahal jujur saja bahwa organisasi ekstra kampus itu bisa eksis atas dana dari luar kampus. Entah itu alumni, NGO, Tokoh Politik, Tokoh masyarakat dan stakeholder lainnya” tambah Ajie.

Hal yang tetap menjadi penyemangat gerak para aktivis mahasiswa organisasi ekstra kampus khususnya di daerah Solo adalah adanya dorongan dari para mantan aktivis terutama NGO agar mahasiswa tetap aktif bergerak mengelola organisasi dan menjadikan organisasi sebagai media pembelajaran berorganisasi bagi para kadernya sebagai generasi penerus bangsa. Kalau yang sudah bukan mahasiswa saja tetap masih bersemangat berjuang untuk bangsa ini, kenapa yang muda duduk di bangku kuliah tidak semangat, kenapa mahasiswa hanya sibuk ber-Facebook ria?

Oleh: Sulatri
Pegiat Pattiro Surakarta

Budaya KKN di Indonesia (Dari Pejabat hingga Rakyat)

Dalam sejarah perjuangan mengisi kemerdekaan ini tentu kita masih ingat dengan yang namanya gerakan Reformasi sekitar tahun 1998. Pada saat itu banyak sekali elemen masyarakat yang mendukung adanya reformasi. Dari kalangan akademisi, budayawan, ormas, LSM, elemen mahasiswa, buruh dan lain-lain bersatu menyuarakan reformasi untuk memperbaiki bangsa Indonesia yang saat itu dinilai amat sangat diktator. Sebagai akibatnya budaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang berkembang dengan suburnya. Terlebih dengan adanya pembredelan terhadap dunia pers sehingga hal-hal yang seharusnya itu bisa transparan diketahui publik justru di peti-es kan.

Sepuluh tahun lebih kita sudah melewati reformasi. Tapi apa yang terjadi hingga hari ini? Kita bisa menyaksikan bahwa menumpas yang namanya budaya KKN itu begitu amat sangat susahnya. Orang-orang yang dahulu mengobarkan reformasi justru ketika ia menjabat, katakanlah, menjadi politisi atau penguasa justru malah berlomba-lomba mengeruk keuangan negara untuk memperkaya diri pribadi dan golongannya.

Seseorang bisa lepas dari jeratan hukum dengan memberikan uang besar kepada pihak-pihak yang mengangani permasalahanya. Bahkan meski dia masuk bui ia bisa mendapatkan fasalitas istimewa layaknya tinggal di hotel seperti kasus Sidak di Rutan Pondok Bambu yang menemukan Artalita Suryani yang terlibat kasus suap justru dengan nikmatnya menempati Rutan tersebut. Kemudian kita juga masih banyak menemui seorang pejabat yang mengangkat keluarga atau kelompokya untuk bisa menjadi pegawai dengan mudahnya tanpa tes seperti masyarakat umumnya, katakanlah untuk menjadi PNS misalnya.

Di sisi lain, seseorang warga negara yang mau mengurus administrasi di tingkat kelurahan seperti KTP baru dilayani ketika ia mau mengasih persenan untuk para petugas jika urusannya mau selesai. Padahal kita tahu bahwa petugas tersebut memang sudah tugasnya melayani warga. Ia sudah mendapatkan gaji/bengkok dari negara. Kenapa musti ia pasang tarif ketika melaksanakan tugas-tugasnya?

Fenomena tersebut menjadi biasa di pandangan kita karena kegiatan tersebut sudah membudaya sejak lama di sekitar kita. Kalau pada zaman dahulu orang kecil harus jalan nunduk-nunduk ketika ia berjalan melewati depan seorang pejabat atau penguasa. Kita bukannya tidak menghormati orang lain tapi disitu memperlihatkan bahwa seorang pejabat/penguasa itu lebih tinggi dari rakyat diterapkan dengan kakunya sehingga ketika berdiripun tidak bisa sejajar. Padahal derajat seseorang itu tidak akan turun jika kita juga bisa menghargai orang lain sebagai manusia biasa yang juga butuh dihargai. Dan menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Sementara budaya KKN di tengah rakyat biasa misalnya. Seorang pembantu ketika tetangga bosnya butuh pembantu ia menawarkan temannya. Giliran ketika temannya itu sudah menjadi pembantu ia minta persenan juga sama rekannya tersebut. Dan rekannya tersebut juga mengiyakan saja karena ia dapat kerja karena temannya maka ia wajib mengasih persenan untuk yang telah mencarikan kerja. Padahal kita tahu berapa sih pendapatan seorang pembantu dibandingkan dengan harga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saat ini. Hal semacam itu sudah lumrah terjadi di masyarakat. Tolong-menolong yang dahulu bersifat sukarela saat ini juga dijadikan nilai uang. Yah…itulah kenyataan yang ada hingga kini. Ternyata budaya KKN sangat sulit dihilangkan. Bukan hanya pejabat tapi rakyat juga terbiasa KKN.

Oleh : Sulatri

Pegiat Pattiro Surakarta