Adanya berbagai kemajuan teknologi dan berbagai fasilitas yang ada di kampus ternyata saat ini tidak mendorong mahasiswa untuk aktif menjadi agent of change (agen perubahan) di negeri ini. Hal ini sangat disesalkan oleh banyak pihak terutama para mantan aktifis mahasiswa entah itu tahun 80-an, 90-an yang banyak duduk di NGO (Non Government Organization), partai dan lain sebagainya.
Haris Rusly, eksponen mahasiswa 1998 yang dahulu kuliah di UGM dalam diskusi refleksi 12 tahun reformasi di LPH YAPHI, (19/5/10) mempertanyakan kenapa berbagai fasililitas di kampus dan kemajuan teknologi yang ada tidak dimanfaatkan dengan baik untuk memperjuangkan bangsa. Misalkan saja adanya hotspot internet di kampus justru malah menjadi arena bermain Facebook.
Fasilitas perpustakaan yang saat ini banyak menyajikan berbagai produk buku yang di era orde baru dilarang dan katakanlah untuk membacanya saja harus sembunyi-sembunyi kini semakin sedikit mahasiswa yang memanfaatkannya. Alat transportasi yang semakin mudah tidak menjadikan mahasiswa semakin aktif di organisasi. Baik organisasi internal kampus maupun eksternal kampus.
Status mahasiswa yang masih ‘wah‘ di tengah masyarakat kita yang diharapkan jadi salah satu eksponen yang bisa mengkritisi kebijakan agar lebih baik kadang berlalu begitu saja tanpa ada hasil yang bisa kita acungi jempol. Kita bukannya menyalahkan adanya perubahan dengan berbagai kemajuan yang terjadi, tapi bagaimana mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat yang lainnya bisa bersatu bergerak membawa negeri ini agar lebih baik.
Kita tahu bahwa biaya pendidikan yang ada di Indonesia itu masih dikatakan cukup mahal. Meskipun dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sudah ditetapkan anggaran pendidikan itu sebesar 20% akan tetapi dalam realitasnya masih jauh dari apa yang kita harapkan. Masih banyak pungutan biaya disana-sini dan ketika dana seharusnya sudah dicairkan ternyata juga terjadi pemotongan. Urusan birokrasi yang berbelit juga semakin menyulitkan masyarakat ketika akan mengakses dana tersebut.
ilustrasi : Kompas Images
Adanya berbagai kebijakan yang tidak berpihak terhadap rakyat miskin berjalan dengan santainya tanpa ada perhatian dari mahasiswa. Misalkan saja adanya dana SPP yang dibebankan kepada mahasiswa di kampus, mahasiswa tidak bisa mengakses dana tersebut dengan baik. Hal ini sebenarnya menjadi permasalahan tersendiri bagi mahasiswa terutama mahasiswa yang aktif di organisasi.
Rusly mempertanyakan ”Kenapa ketika mahasiswa dibebani biaya berat dan berbagai kebijakan yang merugikan mahasiswa mereka hanya diam saja? Silahkan kritisi berbagai kebijakan yang ada di kampus, syukur kebijakan yang ada di daerah sekitar kampus. Lebih bagus lagi kritisi kebijakan yang ada di negeri ini! Tunjukkanlah bahwa mahasiswa itu merupakan agent of change, pembawa pembaharuan, penerus generasi bangsa ini agar lebih baik”.
Perspektif Aktifis Mahasiswa Saat Ini
Sementara Ajie Najmudin, salah seorang aktivis PMII Solo juga menyatakan bahwa pandangan tersebut ada benarnya. Memang berbagai fasilitas yang ada di kampus itu bisa dikatakan juga bisa menjadi media yang cukup bagus ketika kita manfaatkan dengan baik. Tapi memang mahasiswa banyak yang menjadi terlena dan dimabukkan dengan fasilitas yang ada di kampus dan cuek terhadap berbagai persoalan bangsa yang sebenarnya bisa mereka perjuangkan. ”Yah…terserahlah apa kata mantan aktivis mahasiswa di atas kami”, Ujar Ajie.
Menurut Ajie, mereka masih mengalami banyak kesusahan untuk terus aktif dan bisa menyikapi berbagai kebijakan yang ada baik di kampus, daerah maupun nasional. Biaya kuliah yang kami tanggung saat ini itu juga menjadi salah satu faktor yang kami hadapi. Belum biaya untuk aktif di organisasi ekstra kampus yang membutuhkan mobilitas yang cukup tinggi. Para aktifis mahasiswa saat ini juga kesusahan ketika akan mencari kader untuk melanjutkan roda organisasi terutama organisasi ekstra kampus. ”Kami seperti bukan mahasiswa kampus saja ketika mencoba memanfaatkan fasilitas yang ada di kampus. Berbagai beban biaya kuliah yang kami tanggung tidak bisa kami ambil dan maanfaatkan jika dengan mengatasnamakan organisasi ekstra kampus”, keluh Ajie.
Keluhan serupa bukan hanya dirasakan oleh organisasi ekstra semacam PMII saja namun juga berbagai organisasi ekstra lainnya seperti HMI, LMND, PMKRI, GMNI, GMKI, KAMMI dan sebagainya. Mahasiswa sangat kesusahan ketika akan memanfaatkan fasilitas yang ada di kampus untuk kegiatan organisasi mereka.
“Kenapa ketika mahasiswa aktif kuliah dan aktif berorganisasi kita kesusahan mendapatkan fasilitas kampus, tapi giliran mahasiswa tersebut sudah menjadi alumni yang berhasil baru dirangkul-rangkul dan dibanggakan sebagai alumni universitas tersebut. Padahal jujur saja bahwa organisasi ekstra kampus itu bisa eksis atas dana dari luar kampus. Entah itu alumni, NGO, Tokoh Politik, Tokoh masyarakat dan stakeholder lainnya” tambah Ajie.
Hal yang tetap menjadi penyemangat gerak para aktivis mahasiswa organisasi ekstra kampus khususnya di daerah Solo adalah adanya dorongan dari para mantan aktivis terutama NGO agar mahasiswa tetap aktif bergerak mengelola organisasi dan menjadikan organisasi sebagai media pembelajaran berorganisasi bagi para kadernya sebagai generasi penerus bangsa. Kalau yang sudah bukan mahasiswa saja tetap masih bersemangat berjuang untuk bangsa ini, kenapa yang muda duduk di bangku kuliah tidak semangat, kenapa mahasiswa hanya sibuk ber-Facebook ria?
Oleh: Sulatri
Pegiat Pattiro Surakarta